REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Meningkatnya angka infeksi HIV di Indonesia bukan lantas harus ditanggapi sebagai hal yang buruk. Bahkan, peningkatan tersebut justru bisa dilihat sebagai tanda kemajuan.
Menteri Kesehatan Indonesia Nafsiah Mboi berbicara dalam salah satu sesi di AIDS 2014 di Melbourne (Foto: Dina Indrasafitri)
Pendapat ini diungkapkan oleh Steven J Kraus, Direktur Regional Support Team kawasan Asia Pasifik UNAIDS, yaitu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bekerja di bidang HIV/AIDS.
Dalam rilis pers UNAIDS tertanggal 16 Juli 2014, Indonesia disebut termasuk negara yang dianggap tertinggal dalam kemajuan melawan HIV. Indonesia bersama lima negara lain dikatakan menghadapi tiga ancaman, yaitu beban HIV yang berat, cakupan pengobatan yang rendah, dan rendahnya tingkat penurunan infeksi HIV.
Dalam laporan ‘Gap Report’ UNAIDS yang diterbitkan tahun ini, disebutkan bahwa Infeksi HIV baru di Indonesia meningkat sebesar 48 persen.
Disebutkan pula bahwa kematian terkait AIDS di Indonesia meningkat sebesar 427 persen antara tahun 2005 dan 2013.
Menurut Kraus, ada dua cara untuk memahami angka yang menunjukkan peningkatan infeksi HIV di Indonesia.
Salah satunya, dengan melihat angka itu sebagai tanda bahwa Indonesia berhasil memudahkan tes HIV bagi warganya, oleh karena itu makin banyak yang terdiagnosa, dan, akibatnya, mungkin lebih banyak pula yang bisa diobati.
“Interpretasinya bisa, ‘Wah, ini hebat. Lebih banyak yang dites, lebih banyak yang tahu status [HIV] mereka.’ Atau, anda bisa berkata, ‘Wah, lihat betapa tingginya angka di Indonesia sekarang,” jelas Kraus pada Australia Plus baru-baru ini di Melbourne,
“Saya rasa, bisa dibilang dua-duanya benar. Tapi, sebenarnya, Indonesia saat ini melakukan hal yang seharusnya dilakukan.”
Indonesia sudah mengambil langkah tepat terkait kebijakan kesehatan dan juga hak asasi manusia, karena mengetahui status HIV diri sendiri adalah termasuk hak sebagai seorang manusia, ucap Kraus.
“Indonesia harus diakui atas kemajuan macam itu, bukan dikritisi. Dan, yang terpenting, jangan sampai terancam secara keuangan karena langkah maju ke depannya,” jawabnya saat ditanya apakah pendanaan penanggulangan HIV di Indonesia bisa terancam akibat angka yang menunjukkan peningkatan infeksi HIV.
“Salah satu tanda kemajuan adalah diumumkannya angka-angka ini.”
Data case fatality rate di Indonesia ditampilkan dalam konferensi AIDS 2014 (Foto : Dina Indrasafitri)
Kecewanya Menteri Kesehatan Indonesia
Kraus termasuk salah satu tokoh yang menghadiri konferensi internasional AIDS 2014 di Melbourne minggu lalu. Hadir pula dalam acara tersebut Menteri Kesehatan Indonesia, Nafsiah Mboi, yang dulu pernah menduduki posisi sekretaris Komisi Nasional AIDS.
Saat ini, Nafsiah juga menjabat ketua dewan The Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria.
Meskipun beberapa kali dipuji saat menghadiri sesi-sesi dalam konferensi ini, Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap angka-angka yang diumumkan oleh UNAIDS terkait Indonesia.
"Data kita menunjukkan bahwa sebenarnya sudah cukup banyak kemajuan. Memang bertambah jumlahnya karena kita menambah testing. Karena kita membongkar gunung esnya,” ucap Nafsiah pada ABC International.
“Dia bilang kita punya angka kematian naik beberapa kali, sedangkan angka kita menunjukkan case fatality rate menurun luar biasa. sekarang case fatality rate sudah dibawah satu persen,” jelasnya.
Case fatality rate adalah angka yang menunjukkan berapa banyak kematian yang terjadi akibat penyakit tertentu. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah yang meninggal akibat HIV/AIDS.
Rencananya, Nafsiah akan mengajukan keluhan terkait data tersebut. “Saya akan complain secara resmi dengan menunjukkan data-data kita supaya kita itu satu bahasa,” ucapnya.
Menurut Kraus, data dari Indonesia sudah cukup bagus, dan PBB pun menerima data tersebut dengan tepat. “Saya rasa miskomunikasi terjadi saat misinterpretasi data,” katanya,
“Contohnya, kalau anda tak pernah mengadakan tes [HIV], atau mempersulit, mempermahal tes, laporan HIV akan sangat sedikit. Tapi Indonesia sudah menggencarkan tes, membawa ke komunitas, jadi, ya, akan ditemukan lebih banyak kasus.”