Rabu 06 Aug 2014 20:07 WIB

Ahli Ebola Minta Obat Penawar Ebola Didistribusikan ke Afrika Barat

Rep: c66/ Red: Maman Sudiaman
Para petugas kesehatan mengajarkan warga tentang virus Ebola dan bagaimana mencegah infeksi, di Conakry, Guinea.
Foto: (AP/Youssouf Bah)
Para petugas kesehatan mengajarkan warga tentang virus Ebola dan bagaimana mencegah infeksi, di Conakry, Guinea.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Tiga ahli ebola terkemuka dunia meminta agar obat yang telah melalui ekspreimen juga vaksin untuk menangani virus tersebut diberikan pada orang-orang di Afrika Barat. Para ahli ebola juga mempertanyakan mengapa obat dan vaksin hanya diberikan kepada dua pekerja Amerika Serikat (AS) yang terinfeksi virus tersebut.

Dua pekerja medis AS yang terinfeksi ebola saat berada di Afrika Barat dan telah dikirim kembali ke negaranya, mendapat obat percobaan bernama Zmapp, yang disebut belum teruji secara resmi. Obat Zmapp, yang sebelumnya hanya diujicobakan pada binatang, namun setelah Kent Brantly dan Nancy Writebol meminum obat tersebut, kondisi keduanya diketahui membaik.

Peter Piot, David Heymann, dan Jeremy Farrar, tiga professor dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan para pasien di Afrika Barat harus mendapat kesempatan yang sama. Mereka meminta agar obat tersebut diberikan pada warga di Afrika Barat yang terinfeksi virus ebola, seperti yang dilakukan terhadap dua warga AS.

Ada beberapa jenis obat antivirus, antibodi monoklonal, dan vaksin yang disebut oeh tiga ahli, saat ini sedang diteliti untuk menanggulangi ebola. Ketiga ahli menyatakan, Pemerintah Afrika harus diperbolehkan untuk membuat keputusan, apakah mereka hendak menggunakan produk tersebut atau tidak.

"Pemerintah Afrika harus dapat membuat keputusan untuk dapat mencoba produk obat tersebut, kepada seluruh warga yang terkena wabah Ebola," ujar pernyataan yang ditulis oleh ketiga ahli tersebut, dilansir Al Jazeera, Rabu (6/8).

Sejak Februari lalu, sedikitnya 887 orang telah tewas di Afrika Barat akibat terinfeksi virus ebola. Perkembangan virus ini terjadi dengan cepat, di empat negara Afrika Barat yaitu Sierra Leone, Guinea, Liberia, dan Afrika. Virus ebola diketahui pertama kali menyebar di Guinea awal tahun ini.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai satu-satunya badan yang dapat mengizikan penggunaan obat hasil ekperimental yang belum teruji secara resmi, harus menggunakan peran mereka untuk menanggulangi virus tersebut. Tiga ahli ebola itu meminta WHO secara tegas memberi kesempatan yang sama pada para pasien terinfeksi ebola di Afrika Barat untuk mencoba obat, yang sejauh ini efeknya terlihat berhasil pada dua warga AS. Dengan peran WHO, tiga ahli berharap jumlah pasien terinfeksi ebola di Afrika Barat dapat menurun secara drastis.

Zmap adalah obat percobaan yang dikembangkan di San Diego, AS oleh sebuah perusahaan biotekhnologi, Mapp Biofarmasi Inc. Perusahaan yang didirikan pada 2003, dikenal sebagai pengembang obat-obat baru yang dapat mencegah dan menyembuhkan penyakit-penyakit menular. Selama beberapa tahun, perusahaan ini juga telah bekerjasama dengan Reduction Agency Defense Threat, badan dari Miiliter AS dalam mengembangkan obat untuk menanggulangi ebola.

Para ahli mengatakan obat eksperimental yang belum teruji keamanannya secara resmi tidak boleh disebarkan pada masyarakat umum. Namun, dalam kasus penyebaran ebola yang terus meningkat di Afrika Barat, obat tersebut harus disebarkan pada warga yang terkena wabah disana.

WHO serta lembaga-lembaga medis harus berani mengambil risiko untuk mengujicobakan Zmap, terutama pasien yang sangat membutuhkan di Afrika Barat. Namun, mereka tetap harus memantau keamanan serta keefektifan obat penawar ebola itu.

Seorang juru bicara WHO mengatakan pada Reuters bahwa lembaga itu tidak akan merekomendasikan obat yang hingga saat ini belum teruji secara klinis. Obat Zmap yang belum melalui proses perizinan secara normal ini tidak dapat disebarkan kepada manusia, terutama masyarakat umum. Hal ini, menurut WHO melanggar peraturan kesehatan internasional yang ada.

Sementara itu, menanggapi para ahli yang mempertanyakan mengapa obat tersebut dapat diberi pada kedua pekerja AS, WHO mengatakan mereka tidak terlibat dalam keputusan itu. Kedua pasuen, yaitu Brantly dan Writebol telah menyetujui pemberian obat, yang belum pernah diujicobakan pada manusia. Mereka dikatakan oleh WHO, telah siap menerima risiko atas penggunaan obat yang mungkin menempatkan mereka dalam kondisi lebih buruk, bahkan menimbulkan kematian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement