Kamis 07 Aug 2014 09:12 WIB

Delegasi AS Menuju Kairo Guna Membantu Perundingan Gaza

Bangunan di Gaza hancur akibat serangan udara Israel.
Foto: EPA/Mohammed Saber
Bangunan di Gaza hancur akibat serangan udara Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Delegasi Amerika Serikat (AS) Frank Lowenstein tiba di Kairo, Rabu (6/8) untuk membantu menengahi perundingan Mesir antara Israel dan Palestina menemukan kesepakatan akhir yang langgeng untuk mengakhiri konflik mereka atas Jalur Gaza.

Lowenstein adalah utusan khusus AS untuk perundingan Israel-Palestina. "Kami, bersama dengan mitra kami, sedang bekerja untuk menemukan cara lebih lanjut guna mengakhiri kekerasan dan mengatasi secara mendasar penyebab krisis ini," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Edgar Vasquez, dalam mengumumkan perjalanan itu.

Kepala intelijen Mesir bertemu dengan delegasi Palestina di Kairo pada Rabu, sehari setelah ia berbicara dengan perwakilan Israel, kantor berita resmi Mesir MENA. Para pejabat Israel dan Palestina tidak diharapkan untuk menahan pembicaraan langsung pada saat ini karena mereka berusaha untuk mengubah gencatan senjata 72 jam yang ditengahi Mesir dan dimulai pada Selasa menjadi kesepakatan tahan lama untuk konflik kira-kira sebulan.

Para pejabat Gaza mengatakan perang telah menewaskan 1.867 warga Palestina, sebagian besar dari mereka warga sipil. Israel mengatakan 64 tentara dan tiga warga sipil mereka juga telah tewas sejak pertempuran dimulai pada 8 Juli, setelah lonjakan peluncuran roket para pejuang Palestina.

Amerika Serikat tidak memiliki kontak langsung dengan Hamas, yang dicap sebagai kelompok teroris. Hamas menguasai Jalur Gaza, sebuah kantong pesisir Mediterania yang berbatasan dengan Israel dan Mesir, rumah bagi sekitar 1,8 juta warga Palestina.

Meskipun pihaknya bekerja melalui dukungan Barat, Presiden Palestina Mahmud Abbas, partai Fatah menjalankan pemerintahan Tepi Barat. Tim Palestina di Kairo dipimpin oleh seorang pejabat dari Fatah dan termasuk utusan dari Hamas dan kelompok Jihad Islam. 

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement