REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Pemenang Pemilihan Presiden Turki 2014, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan, sempat dianggap semakin otoriter, dan mencampuri urusan pribadi rakyatnya. Hal itu sering menjadi sumber konflik antara kaum sekuler dan kalangan konservatif pendukung Erdogan.
Tahun 2014, merupakan pertama kalinya diadakan pemilihan langsung dalam memilih presiden, dan Erdogan turut mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat. Salah satu pendiri partai Erdogan (partai AK), Arinc, mengatakan wanita harus melindungi kesuciannya. "Dia tak boleh tertawa di depan semua orang dan tak boleh mengundang dalam perilakunya. Ia harus melindungi kehormatannya," katanya.
Merespon pernyataan itu, salah satu organisasi wanita menegaskan bakal mengajukan tuntutan kejahatan kepada Arinc. Selain itu, Arinc pun mengritik opera sabun di televisi sebagai penyebab penurunan moral.
Beragam komentar Arinc melalui akun Twitternya tersebut menuai kritik dari kandidat presiden kalangan oposisi, yang juga mantan skeretaris OKI, Ekmeleddin Ihsanoglu. Membalas Arinc, ia juga menulis di akun twitternya. "Negara kita memerlukan para wanita untuk tertawa dan mendengar tawa gembira siapa saja lebih dari sebelumnya."
Kejadian itu terjadi seminggu setelah Idul Fitri, dan sempat membuat Erdogan ikut diprotes. Hanya saja, ternyata masih banyak rakyat Turki yang mencintai sosok Perdana Menteri tersebut, sehingga ia pun memenangkan Pilpres dengan 52,1 persen suara.