Selasa 12 Aug 2014 05:34 WIB

Perjuangan Palestina Merdeka: Intifada, Roket, dan Surat Suara (4)

Rep: Harun Husein/ Red: Erik Purnama Putra
Seorang ibu yang tinggal di Jalur Gaza, bernama Shijaiyah meratapi nasibnya.
Foto: AP Photo
Seorang ibu yang tinggal di Jalur Gaza, bernama Shijaiyah meratapi nasibnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Bila tak ada aral melintang, akhir tahun ini hingga awal tahun depan, Palestina akan menggelar pemilu presiden dan pemilu legislatif. Pemilu ketiga di Tanah Palestina ini akan digelar setelah Fatah dan Hamas berhasil mencapai rekonsiliasi, dan membentuk pemerintahan bersatu.

Namun, baru saja Fatah dan Hamas bergandengan, Israel yang tak menolak pemerintahan bersatu itu, melancarkan operasi militer yang meluluhlantakkan Jalur Gaza, membunuh hampir dua ribu jiwa, dan melukai sekitar 10 ribu orang lainnya. Berikut lika-liku perjuangan Palestina-satu-satunya anggota Konferensi Asia Afrika yang belum merdeka--untuk memerdekakan diri, tiga dekade terakhir:

8 FEBRUARI 2007

Saudi Arabia mensponsori rekonsiliasi Hamas-Fatah. Negosiasi yang berlangsung di Makkah, menghasilkan kesepakatan yang ditandatangani oleh Mahmad Abbad dari Fatah, dan Khalid Meshal dari Hamas. Pemerintahan baru Palestina diserukan untuk melaksanakan sejumlah agenda pembangunan yang telah disepakati oleh parlemen.

17 MARET 2007

Penolakan quartet (AS, Rusia, UE, dan PBB) untuk mengakui pemerintahan Hamas yang menolak mengakui eksistensi Israel, disusul dengan sanksi ekonomi, penahanan para menteri dan anggota legislatif dari Hamas, serta pertikaian internal Hamas-Fatah, membuat pemerintahan Hamas limbung. Pemerintahan itu berakhir 17 Maret 2007.

Parlemen Palestina kemudian menyepakati membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional, yang didukung mayoritas anggota parlemen (83 setuju, 3 menolak). Saat persetujuan tersebut diambil, sebanyak 41 atau hampir sepertiga dari 132 anggota parlemen Palestina sedang ditahan Israel.

Kabinet baru pun dibentuk dengan mengakomodasi faksifaksi lainnya. Hampir semua partai yang ikut pemilu legislatif, terutama yang mendapatkan kursi legislatif, diikutkan dalam kabinet baru. Kabinet baru ini beranggotakan 25 orang, dipimpin Ismail Haniya sebagai perdana menteri, dan Azzam al Ahmad dari Fatah sebagai wakil perdana menteri. Dari 25 anggota kabinet itu, dari Hamas 12 orang, Fatah (6), Jalan Ketiga (1), Inisiatif Nasional Palestina (1), Partai Rakyat Palestina (1), Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (1), dan kalangan independen (3).

Selain itu, dalam pemerintahan persatuan tersebut, semua menteri disumpah oleh Mahmud Abbas sebagai ketua Otoritas Palestina, sementara pada saat bersamaan acara seremonialnya digelar di Gaza dan Ramallah. Banyak negara menyambut pemerintahan baru tersebut, tetapi Israel tetap menolaknya.

10-15 JUNI 2007

Kendati sudah terbentuk Pemerintahan Persatuan Nasional, pertikaian antara Hamas dan Fatah tetap terjadi. Klimaksnya adalah saat kedua faksi bertempur di Gaza pada 10-15 Juni. Palang Merah Internasional menyebut lebih dari seratus orang tewas akibat peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Gaza ini. Peristiwa ini pun tak pelak membuat Pemerintahan Persatuan Nasional menjadi bubar, dan kemudian membagi wilayah Palestina menjadi dua entitas: Tepi Barat diperintah Otoritas Palestina, sedangkan Jalur Gaza diperintah Hamas.

Penguasaan Gaza oleh Hamas itu, kemudian diiringi oleh langkah Israel dan Mesir untuk memperketat pintu perbatasan mereka dengan Gaza. Blokade atas Gaza juga dilakukan Israel dari arah laut. Israel berdalih blockade tersebut diperlukan untuk membatasi serangan roket dari Gaza, sebab blockade tersebut akan mencegah para pejuang Palestina di Gaza mendapatkan bahan-bahan untuk membuat roket. Akibat blockade itu, Gaza kemudian menjadi bak penjara terbesar. Alhasil, untuk memasok berbagai kebutuhan di Gaza, kemudian dilakukan dengan menggali terowongan-terowongan.

14 JUNI 2007

Mahmud Abbas membubarkan Pemerintahan Persatuan Nasional, dan menyatakan negara dalam keadaan darurat.

16 JUNI 2007

Sembari memblokade Gaza untuk menekan pemerintah Hamas, pemerintahan Palestina yang semula sudah bersatu pun dibelah. Konsul Jenderal AS, Jacob Wales, menyatakan pada 16 Juli bahwa AS merencanakan untuk meng angkat sanksi bagi Palestina untuk mendukung pemerintahan yang dipimpin Mahmud Abbas. Israel juga menyatakan akan mentransfer ratusan juta dolar AS uang dari pajak warga Palestina kepada pemerintahan Fatah yang dipimpin Abbas. Sementara, untuk pemerintahan di Gaza, tetap diberlakukan sanksi bahkan diblokade.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement