REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pemimpin negara Arab terkaya dan negara dengan penduduk terbanyak Ahad (10/8), merundingkan upaya bersama memerangi kelompok radikal Islam di Timur Tengah, khususnya Irak yang tengah bergejolak.
Presiden Mesir Abdul Fatah as-Sisi dan Raja Abdullah dari Arab Saudi dikenal sama-sama pembenci kelompok Ikhwanul Muslimin.
Pada tahun lalu ketika Sisi dikecam dunia internasional karena telah menggulingkan presiden Muhammad Moursi, yang dekat dengan Ikhwanul Muslimin, Arab Saudi justru memberi bantuan senilai 20 miliar dolar AS kepada Mesir.
Selain sama-sama tidak menyukai Ikhwanul Muslimin, kedua negara juga sama-sama khawatir atas keberhasilan Daulah Islamiyah (dahulu dikenal sebagai ISIS) di Irak karena dinilai dapat mengancaman stabilitas dan keamanan kawasan.
Juru bicara Sisi, Ehab Badawi, mengatakan bahwa kedua pemimpin sepakat untuk bersama-sama mempromosikan 'nilai-nilai moderat dan benar mengenai Islam yang menolak ekstrimisme dan terorisme'.
"Presiden Sisi dan Raja Abdullah juga membahas perkembangan terbaru Irak dalam konteks meluasnya terorisme di kawasan," kata Badawi sebagaimana dikutip dari kantor berita Middle East.
"Pertemuan kedua pemimpin ini sangat penting mengingat situasi terkini di negara-negara Muslim dan Arab. Telah terjadi peperangan, intervensi asing, perpecahan internal, dan juga perseteruan di antara negara-negara Arab," kata Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud al-Faisal sebagaimana dikutip dari kantor berita SPA.
Arab Saudi adalah salah satu negara yang khawatir atas perkembangan Daulah Islamiyah di Irak. Di saat bersamaan, negara tersebut juga tidak puas atas sejumlah kebijakan pemerintahan Syiah di Baghdad yang dinilai terlalu dekat dengan rival kawasan, Iran.
Di sisi lain, sejumlah media dari kedua negara melaporkan bahwa pertemuan yang berlangsung di istana raja, Jeddah, itu juga membahas upaya Mesir dalam memediasi gencatan senjata antara Israel dengan Palestina di Jalur Gaza.
Kedua negara dituduh telah mengulur waktu untuk menghentikan serangan Israel sehingga negara Yahudi itu dapat menghancurkan kelompok penguasa Jalur Gaza, Hamas, yang dikenal dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Kairo dan Jeddah sama-sama membantah tuduhan itu.