REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak, Nuri Al-Maliki, mengatakan pelanggaran konstitusi telah terjadi di negaranya. Hal ini karena negara tersebut hendak menunjuk perdana menteri baru untuk menggantikan jabatan yang diduduki Maliki itu.
Maliki mengatakan penunjukan Haidar al-Abadi sebagai perdana menteri baru oleh Presiden Irak Fuad Masoum adalah hal yang bertentangan dengan hukum konstitusi. Ia bersama dengan menantunya, Hussein al-Maliki, mengatakan mereka tidak akan tinggal diam dan akan mengajukan pelanggaran ini ke pengadilan.
Maliki telah disalahkan oleh sejumlah pihak, termasuk mantan sekutunya di Washington dan rekan-rekan Syiah di Irak. Banyak pihak terus menekan Maliki untuk mengundurkan diri agar kekacauan yang terjadi di Irak dapat segera dihentikan.
Penunjukan Haidar sebagai perdana menteri baru Irak disambut baik oleh Amerika Serikat (AS). Sebagai negara yang selama ini bekerjasama dengan Pemerintah Irak mengatakan pencalonan Haidar adalah langkah maju yang dapat membawa Irak keluar dari krisis.
"Penunjukan perdana menteri baru Irak adalah hal yang sangat penting untuk mengakhiri krisis di negara tersebut. Irak membutuhkan pemimpin yang dapat diterima seluruh pihak dan membentuk pemerintahan inklusif," ujar Presiden AS Barack Obama, dilansir Reuters, Senin (11/8).
Sejak Juni lalu, Irak dilanda krisis besar akibat serangan dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang kini mendeklarasikan nama menjadi Negara Islam (IS).
Kelompok militan ini telah menguasai banyak wilayah di Irak Utara. Puluhan ribu warga di Irak yang berasal dari etnis minoritas juga harus meninggalkan rumah mereka akibat pengusiran paksa kelompok itu.