Selasa 12 Aug 2014 22:59 WIB

DK PBB Ancam Pemimpin Sudan Selatan dengan Sanksi

Pengungsi Sudan Selatan (ilustrasi)
Foto: Reuters/Mohamed Nureldin Abdallah
Pengungsi Sudan Selatan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Perutusan Dewan Keamanan PBB pada Selasa memperingatkan pemimpin Sudan Selatan, yang berseteru, bahwa mereka akan menghadapi sanksi jika perang saudara, yang membawa negara termuda tersebut ke jurang kelaparan, tidak berhenti.

"Dewan menyatakan dengan jelas bahwa Dewan Keamanan siap memberikan konsekuensi jika masih ada perampas, jika masih ada pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia," kata duta besar AS untuk PBB Samantha Power setelah pertemuan dengan Presiden Salva Kiir.

Perwakilan dari 15 anggota DK PBB yang tiba di ibukota Juba pada Selasa untuk misi dua hari, juga dijadualkan bertemu pemimpin pemberontak Riek Machar.

"Kami tidak akan mentolerir pelanggaran kesepakatan penghentian kekerasan dan orang-orang yang merusak kesepakatan damai," kata Power kepada wartawan dalam salah satu peringatan terkeras itu.

"Kami telah mengirimkan pesan disini, dan kami juga akan mengirim pesan ini kepada Riek Machar," tambah dia.

Ribuan orang tewas dan lebih dari 1,5 juta menghindari aksi pembantaian selama hampir delapan bulan yang dipicu oleh perebutan kekuasaan antara Kiir dan mantan wakilnya Machar. Pertempuran berlangsung antara pasukan pemerintah, tentara yang memberontak dan milisi yang dipisah atas dasar kesukuan.

"Masing-masing pihak harus tahu bahwa rakyat Sudan Selatan sudah cukup menderita," kata dubes Rwanda Eugene-Richard Gasana.

"Masyarakat internasional tidak akan hanya menonton sementara situasi yang seperti tak berujung ini terus berlangsung," katanya.

Delegasi tersebut kemudian mengunjungi kota Malakal di utara, salah satu wilayah yang paling parah terkena akibat pertempuran itu.

Kota tersebut kini tinggal puing-puing setelah beberapa kali berpindah tangan antara pemerintah dan pemberontak.

Menteri Luar Negeri Barnaba Marial mengatakan para diplomat itu akan "menunjukkan apa yang dilakukan Sudan Selatan terhadap perdamaian".

PBB mengatakan krisis pangan Sudan Selatan merupakan krisis terburuk di dunia, dan pekerja kemanusiaan memperingatkan terjadinya kelaparan dalam beberapa minggu ke depan jika konflik terus berlanjut.

Menteri Luar Negeri AS John Kerry pada Senin menuding kedua belah pihak telah gagal untuk berpegang pada proses perdamaian, sehari setelah mereka melewati batas waktu untuk menciptakan pemerintahan bersatu.

"Batas waktu terus terlewat dan rakyat tak bersalah menderita," kata Kerry.

Pembicaraan damai di ibukota Ethiopia, Addis Ababa yang dimulai sejak Januari, secara resmi kembali dibuka pekan lalu, namun delegasi tersebut tidak yakin akan membawa kemajuan.

"Ini adalah kebiadaban dan pelecehan terhadap rakyat Sudan Selatan," kata Kerry.

"Para pemimpin membiarkan mereka jatuh dan jatuh lagi. Pembicaraan damai telah berlangsung selama enam bulan di Ethiopia, sementara rakyat Sudan Selatan terus menderita dan perang terus berlangsung," katanya.

Amerika Serikat dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi pada tiga komandan angkatan bersenjata senior dari pihak pemerintah dan oposisi, sementara blok regional IGAD menyiratkan bahwa mereka akan mengikuti langkah itu jika tidak ada kemajuan yang dibuat.

Pertempuran sengit dilaporkan terjadi pada Minggu di sekitar kota Nasir, provinsi Jonglei di wilayah timur, bekas markas pemberontak yang direbut kembali oleh pemerintah.

Baik pemerintah maupun pemberontak saling menyalahkan terkait pertempuran itu.

Badan-badan bantuan mengecam pertempuran yang mereka sebut sebagai tekad para pemimpin untuk mengalahkan pihak lain secara militer.

"Dengan pembicaraan damai di Addis Ababa yang terus diulur-ulur, kekerasan yang terus berlanjut di negara itu serta krisis keamanan pangan yang dibuat manusia, situasi di Sudan Selatan tidak bisa lebih darurat dari sekarang," kata Tariq Riebl dari Oxfam dalam pernyataannya.

Human Rights Watch menyerukan diberlakukannya embargo senjata dan sanksi-sanksi, dalam sebuah surat terbuka kepada Dewan Keamanan, dan melaporkan "kekejaman luar biasa yang mengarah pada kejahatan perang".

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement