REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Permintaan uang tebusan sebelum pemenggalan wartawan Amerika Serikat James Foley menimbulkan perdebatan baru, antara lambannya AS dan penolakan Inggris bernegosiasi dengan teroris. Pembayaran tebusan juga diperdebatkan, karena dianggap akan menjadi cara teroris mengumpulkan dana.
Dengan membayar uang tebusan, pemerintah di Timur Tengah dan Eropa menjadi pemodal terbesar kelompok teroris. Sementara jika mengambil sikap menolak, seperti yang dilakukan AS dan Inggris, dianggap menempatkan warganya dalam posisi bahaya.
Dalam kasus penculikan Foley, militan ISIS meminta uang tebusan senilai 132,5 juta dolar dari orangtuanya. Setelah tak mendapat dana yang diminta, ISIS memenggal kepala Foley. ISIS juga menuntut uang tebusan senilai dengan tebusan Foley, untuk dua sandera lainnya.
Ekstrimis menyebut kematian Foley sebagai aksi balas denda setelah 90 serangan udara dilancarakan AS. Namun, permintaan tebusan terhadap sandera sudah muncul sejak akhir tahun lalu.
Seorang pejabat senior pemerintah Obama mengatakan pada Kamis (21/8), bahwa ISIS telah mengajukan berbagai permintaan pada AS untuk membebaskan Foley. Termasuk perubahan kebijakan AS dan sikapnya di Timur Tengah.
Wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS Marie Harf mengatakan, milisi telah mengumpulkan jutaan dolar dana dari uang tebusan dalam satu tahun terakhir. Menurut Harf AS tak membuat konsesi untuk teroris.
"Kami tak membayar uang tebusan," ujar Harf.
Pemerintah AS percaya, membayar uang tebusan hanya akan membuat teroris mengumpulkan dana dengan cara itu. Maka menurutnya AS tak akan melakukan itu, meski dengan alasan pembebasan sandera.
Masalah pembayaran oleh pihak keluarga korban atau perusahaan yang terkait masih dalam perdebatan. Menurut salah seorang pejabat AS, pembayaran atau bantuan pada kelompok teroris dapat meningkatkan dukungan pada teroris.
Pada Januari, AS dan Inggris dijamin resolusi Dewan Keamanan PBB melarang pemerintah membayar tebusan pada kelompok teror. Kelompok Delapan, juga membuat janji yang sama tahun lalu di bawah tekanan AS dan Inggris.