REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Duta Besar Libya untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan pada Rabu (27/8), perang saudara dapat terjadi di Libya. Ini akan terealisasi jika kekacauan dan perpecahan di negara Afrika Utara tersebut terus berlanjut.
Duta Besar Ibrahim Dabbashi mengatakan pada Dewan Keamanan PBB (DK PBB) bahwa ia selalu mengecualikan kemungkinan perang sipil di Libya. Tapi, menurutnya situasi telah berubah. "Situasi di Libya rumit," kata Dabbashi dikutip Al Jazeera.
Menurutnya, situasi Libya telah berubah sejak 13 Juli lalu. Dewan dengan suara bulat menyetujui sebuah resolusi menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin di Libya. DK PBB mengancam akan memperluas sanksi terhadap perseorangan yang mengancam stabilitas di Libya.
Libya saat ini memiliki dua parlemen yang saling bersaing di dua bagian negara tersebut. Ini terjadi setelah parlemen Libya keluar dari pemerintahan dan berkumpul kembali membentuk pemerintahan dengan menunjuk perdana menteri baru.
Presiden Dewan Keamanan PBB Mark Lyall Grant mengatakan Komite DK PBB akan bertemu awal pekan depan. Mereka berencana memutuskan nama-nama individu yang akan dikenai sanksi.
Wakil khusus Sekjen PBB untuk Libya, Tarek Mitri mengatakan PBB tak punya cara untuk mengkonfirmasi bahwa Mesir dan Uni Emirat Arab diam-diam melakukan serangan udara pada milisi Islam di Libya. Lain hal dengan Amerika Serikat yang mengakuinya secara terbuka, Selasa (26/8) lalu.
"Ini perlu dicatat, tak ada bantahan jelas dari mereka terkait serangan udara," kata Mitri. Ia menambahkan, langkah tersebut tak dapat membantu Libya mencapai gencatan senjata. Mitri juga menekankan, tak ada solusi militer di Libya.
Mitri menambahkan hanya internal Libya yang dapat menyelesaikan perpecahan. Jika tidak menurutnya, masyarakat Libya terancam oleh disintegrasi lebih lanjut.