REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Novel remaja Tiger Stone bercerita tentang petualangan seorang perempuan Indonesia di zaman Majapahit. Tetapi penulisnya bukanlah orang Indonesia, melainkan warga negara Australia yang jatuh cinta dengan kebudayaan Jawa.
Deryn Mansell, penulis Tiger Stone, berpose dengan bukunya (Foto: Dina Indrasafitri)
Kancil, seorang anak perempuan yang cekatan dan banyak akal, ditimpa musibah. Ayah dan saudara laki-lakinya hilang dalam peperangan Bubat, yang melibatkan kerajaan Majapahit dan Pajajaran.
Ia terpaksa melakukan perjalanan jauh dengan ibunya yang sakit-sakitan dan mengemis bantuan pada saudara ibunya di Prambanan. Namun, Ia tak boleh mengujarkan satu kata pun, dan saudara-saudaranya pun memperlakukannya dengan kasar.
Di sana pula, Kancil bertemu seorang anak laki-laki yang konon memiliki kekuatan gaib yang ada hubungannya dengan harimau. Anak itu menyebalkan, tetapi kadang-kadang membantunya saat ada masalah.
Begitulah sekelumit cerita novel remaja Tiger Stone, yang ditulis oleh Deryn Mansell, warga Australia yang jatuh cinta pada Indonesia dan ingin membagi pengetahuannya dan kegemarannya terhadap negara tersebut ke warga Australia lainnya.
Penulisan Tiger Stone tak terlepas dari ambisi Deryn yang satu itu. Ia sempat mengajar bahasa Indonesia di SMP dan SMA di Australia, namun Ia kesulitan mencari materi yang bisa menumbuhkan ketertarikan pada Indonesia atau bahasa Indonesia di kalangan siswanya.
"Saya ingin menceritakan cerita tentang anak muda yang bisa menarik bagi anak muda Australia, dan membuat mereka ingin belajar lebih mendalam tentang tempat itu [Indonesia]." ucapnya dalam wawancara dengan Dina Indrasafitri dari ABC Australia Plus Indonesia.
Deryn menandatangani buku Tiger Stone saat acara peluncuran di kota Castlemaine (23/08/2014) (Foto: Dina Indrasafitri)
Sejarah Indonesia Menjadi Tantangan Terbesar
Tiger Stone adalah novel pertama Deryn, dan butuh waktu sekitar empat tahun untuk merampungkannya. Ia bercerita bahwa yang paling memakan waktu adalah penelitian tentang sejarah Indonesia.
Ia pernah tinggal di Indonesia selama beberapa kali, sebagai seorang mahasiswa di Yogyakarta dan guru sukarela di Cirebon. Selain itu, Ia juga mempelajari bahasa Indonesia sewaktu kuliah, di tahun 1990an.
Perempuan kelahiran tahun 1968 itu sudah jatuh cinta dengan sejak berkunjung ke candi Prambanan dan Borobudur saat usianya masih 17 tahun.
Karakter Kancil dalam Tiger Stone pun diciptakan Deryn berdasarkan perempuan-perempuan yang Ia temui saat tinggal di Indonesia.
"Saya bertemu banyak perempuan-perempuan kuat, dan saya rasa kisah mereka harus lebih banyak diceritakan," ucapnya.
Toh, Ia masih sering cemas saat menulis Tiger Stone. Terutama karena novel ini, meskipun fiksi, masih ada hubungannya dengan sejarah, dan Ia khawatir ada yang mengkritik bahwa gambarannya tentang kehidupan zaman Majapahit tidak tepat.
Untuk mencari tahu tentang kehidupan para bangsawan Majapahit, Deryn membaca antara lain kitab Negarakertagama. Yang lebih sulit adalah justru mencari tahu tentang kehidupan rakyat biasa di masa itu.
Tiger Stone, yang panjangnya sekitar 260 halaman, diluncurkan di kota Castlemaine, Australia, 23 Agustus 2014.
Bulan Oktober nanti, buku ini akan diluncurkan di Bali dalam acara Ubud Writers and Readers Festival. Deryn mengaku Ia berencana menulis satu atau dua buku lagi sebagai lanjutannya, bila seri pertama sukses.
Saat ini, novel tersebut hanya tersedia di Australia dan Selandia Baru, dalam bahasa Inggris. Namun, Deryn mengaku akan senang bila Tiger Stone juga diterbitkan di Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
"Saya akan senang bila orang-orang di Indonesia ingin membaca buku ini, karena mungkin buku ini akan memberi inspirasi bagi orang-orang Indonesia yang merasa bahwa mereka bisa menghasilkan yang lebih baik dari ini," ucapnya.
Jemima dan Ophelia, dua pembaca muda, membaca Tiger Stone (Foto: Dina Indrasafitri)
Membuka Dunia Baru bagi Pembaca Australia
Susan Green, seorang penulis buku anak, memberi sambutan saat peluncuran Tiger Stone.
"Saat saya menerima Tiger Stone melalui pos, dan saya mulai membacanya, saya tak bisa berhenti," ucap Green dalam sambutannya,
"Buku ini tak hanya mengandung misteri yang bagus, dengan dua karakter yang amat menarik, tapi buku ini juga membuka pintu menuju dunia baru bagi saya."
Green mengaku saat masih muda Ia banyak membaca buku anak yang berlatar Eropa. Justru yang sulit dicari adalah buku anak berlatar Australia atau Asia .
"Membaca Tiger Stone, saya bisa merasa panasnya suhu, mendengar suara monyet-monyet di pohon-pohon, mencium minyak panas di dapur dan merasakan lembabnya hutan," lanjutnya.
"Saya belajar soal hirarki sosial di desa, cara-cara penggunaan bahasa, peramuan jamu, tradisi dalam pernikahan."
Jemima dan Ophelia, dua anak yang menghadiri peluncuran Tiger Stone di Castlemaine, langsung membaca buku tersebut begitu mereka membelinya.
Selain karena Ibu Ophelia kenal dengan Deryn, keduanya bercerita bahwa mereka tertarik pada buku itu karena gila membaca, terutama membaca novel misteri.
"[Tiger Stone] terdengar begitu luar biasa, dan begitu deskriptif, dan Ia menceritakan tentang seluruh perasaan karakter utama, dan sepertinya berada di Jawa di abad ke 14 itu luar biasa sekali," komentar Jemima setelah mereka mendengar Deryn membacakan beberapa paragraf buku tersebut.