Ahad 31 Aug 2014 16:48 WIB

Pasukan Jenderal Khalifa Bertempur Sengit dengan Milisi Garis Keras

Rep: C66/ Red: Erik Purnama Putra
Jenderal Khalifa Haftar.
Foto: www.islamtimes.org
Jenderal Khalifa Haftar.

REPUBLIKA.CO.ID, BENGHAZI -- Pertempuran sengit kembali terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh pensiunan Jenderal Khalifa Haftar dan milisi yang dituding sebagai kelompok Islam garis keras , Sabtu (30/8). Sumber medis dan militer melaporkan, sedikitnya 10 orang tewas dalam bentrokan tersebut.

Bentrokan juga menyerang bandara di kota bagian timur Libya tersebut. Hujan roket dilaporkan terus terjadi di lapangan bandara. Pertempuran yang terjadi antara pasukan Haftar atau dikenal dengan nama Tentara Nasional Libya (LNA) dan milisi Islam telah terjadi selama beberapa bulan terakhir, yang menyebabkan kekacauan semakin melanda negara tersebut.

Milis Islam di Benghazi tengah berupaya untuk menguasai wilayah Benina, yang menjadi lokasi bandara, baik bagi warga sipil maupun militer. Selama ini, bandara di Benghazi telah berada di bawah kendali pasukan LNA. Milisi Islam meluncurkan roket jenis Grad ke dalam bandara tersebut dan mengakibatkan 10 orang tewas serta 25 lainnya dari LNA terluka.

Libya terus berada dalam kondisi tidak stabil, sejak penggulingan Presiden Muammar Khadaffi pada 2011 lalu. Milisi-milisi bersenjata, yang dulu bekerjasama untuk menjatuhkan Khadaffi kini saling menyerang, untuk menguasai negara. Tidak hanya itu, mereka juga saling memperebutkan sumber daya minyak, yang menjadi sumber pendapatan terbesar Libya.

Kekacauan juga membuat para pejabat senior serta anggota parlemen baru Libya pindah ke Tobrul, kota terpencil di timur Libya. Di Tripoli, kekacauan terjadi akibat dua milisi bersenjata yaitu Misrata dan Zintan saling memperebutkan bandara internasional di ibukota negara tersebut. Hal ini menjadikan tidak ada kekuatan politik yang mampu mengendalikan ibukota.

Sementara itu, Omar Al-Hasi, yang ditunjuk oleh parlemen lama Libya (GNC) mengatakan pemerintahnya ingin memimpin negara tersebut keluar dari krisis. Hasi, yang mengkalim dirinya sebagai Perdana Menteri Libya tersebut juga menyerukan rekonsiliasi nasional.

"Kami menolak ektremisme dan terorisme. Saya tidak berdiri untuk kelompok atau faksi tertentu, saya berdiri atas nama seluruh warga Libya," ujar Hasi, dalam sebuah pidato yang disiarkan stasiun televisi Libya, dilansir Reuters pada Ahad (31/8).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement