REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif bersikeras tidak akan mundur di tengah ancaman massa akan menyerbu gedung pemerintahan.
"Saya tidak akan mundur meski di bawah tekanan apapun dan saya tidak akan cuti. Tidak seharusnya ada preseden di Pakistan dimana mandat jutaan orang digunakan dengan paksaan," ujar Sharif dilansir Washington Post, Senin (1/9).
Demonstrasi menuntut pengunduran dirinya kini telah memasuki pekan ketiga. Dengan kekerasan yang meningkat, muncul kekhawatiran pemerintah bisa hancur.
Unjuk rasa dipimpin mantan pemain kriket Imran Khan dan ulama Tahirul Qadri menduga pemilihan Sharif diwarnai kecurangan dan dia tidak berbuat cukup banyak untuk memperbaiki perekonomian negara.
Khan dan Qadri yang dianggap beraliran moderat telah memobilisasi puluhan ribu pendukungnya ke jalan. Sebagian besar mempersenjatai diri dengan tongkat dan ketapel.
Sepekan terakhir, demonstrasi telah menewaskan tiga orang dan melukai 400 lainnya akibat gas air mata dna peluru karet polisi. Polisi melakukannya untuk mencegah massa merangsek masuk ke kediaman Sharif di Islamabad.
Senin, pendemo berhasil menduduki stasiun televisi pemerintah PTV selama lebih dari satu jam. Pejabat senior Athar Farooq mengatakan 20 kamera hilang saat pendemo memasuki stasiun.
Mereka berteriak dan membawa tongkat. Beberapa pendemo menurunkan foto sharif dari dinding dan melemparnya dengan marah ke lantai. Protes menyebar ke kota-kota di Pakistan selama sepekan terakhir.
Sharif telah bertemu dengan Panglima Militer Raheel Sharif, Senin siang. Sharif yang tidak memiliki hubungan kerabat dengan pemimpin militer itu, mengeluarkan pernyataan dia tidak akan mundur secara sukarela.
Rumor mengemuka setelah sejumlah stasiun televisi melaporkan militer memaksa Sharif mundur. Militer menyebut tuduhan itu tidak berdasar.
Militer Pakistan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan militer bukanlah institusi politik dan mendukung tegas demokrasi. Pernyataan itu juga membantah tuduhan militer diam-diam mendukung Khan dan Qadri dibandingkan Sharif. Sharif terpilih secara demokratis tahun lalu.
Sekutu Khan dan presiden partai Tehrik-e-Insaf, Javed Hashmi dalam konferensi pers mengatakan dia tidak setuju dengan keputusan partai mengadakan unjuk rasa, Sabtu, di rumah perdana menteri dan parlemen yang berujung bentrok dengan polisi.
Dia juga memperingatkan Pakistan melakukan tindakan yang berbahaya jika memberlakukan jam malam. Dia mengatakan dia menentang protes yang dilakukan Qadri. Pernyataan Hashmi tersebut memicu spekulasi mengenai keterlibatan militer dalam demonstrasi.
Khan menyangkal adanya pengaruh luar dalam demonstrasinya. Negara yang dulu menjadi bagian dari India itu memang telah mengalami tiga kali kudeta sejak merdeka pada 1947, termasuk pada 1999 kepada Sharif saat menjabat perdana menteri.
Kritik mempertanyakan penanganan Sharif atas krisis yang terjadi dengan mengatakan dia gagal menunjukkan kepemimpinan. Editorial surat kabar The Nation, Senin mengatakan dia selalu hilang taktis di saat-saat kritis.
"Kondisi yang terjadi sangat membingungkan. Di satu sisi, negara tampaknya jatuh, di sisi lain kondisinya stagnan," kata pengamat politik dan militer di Lahore Hasan Askari.