Rabu 03 Sep 2014 05:06 WIB

PBB Khawatirkan Klaim Ratusan Hektar Lahan Israel

Rep: c78/ Red: Hazliansyah
Pemukiman Israel di Tepi Barat
Foto: ap
Pemukiman Israel di Tepi Barat

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon mendesak Israel untuk tidak melanjutkan rencana pembangunan pemukiman di atas ratusan hektar tanah milik warga Palestina di wilayah Tepi Barat. Melalui juru bicaranya, Sekjen menyatakan kekhawatirannya atas rencana Israel tersebut. 

Pada Ahad lalu, sumber militer Israel mengklaim sekitar empat ratus hektar lahan di pemukiman Gevaot, yakni sebelah selatan kota Betlehem. Hal tersebut menuai kecaman Palestina yang kemudian melakukan aksi internasional terhadap Tel Aviv.

PBB menilai, deklarasi Israel soal klaim ‘tanah negara’ mengkhawatirkan dan berisiko memuluskan aktivitas pendudukan Israel atas Palestina di masa yang akan datang. PBB menyatakan aktivitas Israel tersebut merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum internasional.

Press TV seperti dikutip dari Mi’raj Islamic News Agency (MINA) pada Selasa menyatakan, desakan serupa dilontarkan pemerintah Amerika Serikat (AS). Rencana perluasan pendudukan oleh Israel menurut Pemerintah Amerika telah menyulut kemarahan warga Palestina dan meresahkan pendukung perdamaian dari Israel. 

Lebih jauh, masyarakat internasional juga menganggap seluruh pemukiman yang dibangun Israel di atas tanah Palestina adalah illegal sekaligus menjadi hambatan perundingan damai antara Israel dan Palestina.

Selama dekade terakhir, Israel telah mencoba mengubah susunan demografis Timur Al-Quds atau Yerusalem dengan melakukan invasi, membangun pemukiman ilegal, menghancurkan situs sejarah dan mengusir penduduk setempat Palestina.

Sejak pendudukan Israel di wilayah Palestina 47 tahun yang lalu, lebih dari setengah juta warga Israel kemudian tinggal di atas tanah Palestina serta lebih dari 120 pemukiman ilegal dibangun. 

Israel merampas wilayah Tepi Barat dan Timur Al-Quds dalam Perang enam hari sejak 1967, namun langkah tersebut tidak pernah disetujui masyarakat internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement