REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Dosen senior Universitas Indonesia Professor Melani Budianta menilai, pemerintahan SBY gagal dalam menangani isu kesetaraan gender. Meski demikian, SBY telah berhasil dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas politik.
"Gerakan perempuan di Indonesia sangat kecewa terhadap SBY," kata Prof Melani dalam kuliah umum di kampus University of Melbourne, Australia, Kamis (4/9) malam.
Kuliah yang dihadiri puluhan peserta ini diselenggarakan oleh Indonesia Forum mengambil tema The 2014 Indonesian Presidential Elections: The Perspectives of Gender, Religion and Ethnicity. Indonesia Forum merupakan kegiatan berkala yang diadakan kalangan akademisi dan pengamat Indonesia yang ada di Australia.
Pernyataan Prof Melani dikemukakan menjawab pertanyaan salah seorang peserta. Menurut Prof. Melani, SBY akan dikenang sebagai pemimpin "auto-pilot" yang lebih sering bersembunyi di balik alasan prosedur demokrasi. "Contohnya, dalam isu minoritas, SBY selalu berdalih bahwa ia tidak ingin turut campur dalam kasus yang bukan menjadi jurisdiksinya, misalnya dalam kasus minoritas syiah di Sampang," jelasnya.
Prof Melani menambahkan, contoh lainnya adalah penanganan isu Gereja Yasmin di Bogor, Jawa Barat. "Dia berdalih bahwa dia tidak bisa mencampuri urusan pemerintah setempat," katanya.
Dalam isu gender, Prof Melani menunjukkan terjadinya penurunan dalam jumlah representasi perempuan di parlemen. "Memang terlihat munculnya pemimpin politik perempuan di sejumlah daerah, namun umumnya justru lahir dari partai politik lain, bukan partainya SBY," katanya.
Sebaliknya, sejumlah tokoh perempuan dalam partai yang didirikan SBY justru terseret dalam pusaran korupsi, sehingga semakin memperburuk reputasi pemerintahan SBY sendiri dalam isu gender.
Dalam kuliahnya, Prof Melani membahas kontradiksi yang kompleks dalam polarisasi dua kubu calon presiden, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla. Benang merah kuliahnya menyoroti trauma-trauma masa silam Indonesia yang ternyata belum terselesaikan hingga saat ini.
"Memori kolektif bangsa Indonesia banyak dipakai dan bahkan disalahgunakan selama pemilu presiden yang lalu," jelasnya. "Misalnya trauma terkait isu rasisme dan trauma komunisme ternyata masih sangat kuat dalam memori kolektif bangsa Indonesia."