REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -– Peraturan pemilu di Tunisia melarang Muslimah bercadar di mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Alasannya, penggunaan niqab dinilai menghambat komunikasi dan mempersulit pembuktian identitas di depan umum.
Laman Al-Arabiya.net, Ahad (14/9), melaporkan aturan baru tersebut menuai perdebatan. Apalagi, aturan ini menyusul adanya sebuah partai Islam, yang menominasikan nama anggotanya yang maju pada pemilu mendatang. Dari calon yang
diusulkan ada beberapa wanita yang menggunakan niqab.
Ketua Asosiasi Tunisienne des Femmes Démocrates, Bakhta Bilqadhi, angkat bicara menyoal pencalonan tersebut. Ia menggambarkan pencalonan tersebut hanya sebagai strategi politik dan publisitas. "Mereka tidak memiliki rencana nyata untuk partisipasi perempuan di segala bidang,", kata dia.
Pengamat, penulis sekaligus aktivis politik, Raja bin Salah juga mempertanyakan cara wanita berniqab mencalonkan diri dalam pemilu. Melalui akun facebooknya ia menulis, "Tidak mungkin, menurut pendapat saya, untuk menerima perempuan mengenakan niqab dalam pemilu. Bagaimana kita memastikan bahwa itu adalah wanita yang sama? Bagaimana jika wajahnya tidak cukup memikat? Atau bahkan suaranya?"
Sementara itu, Sekertaris Jendral Partai Reformasi Islam Progresif dan Pengembangan, Mohammed al-Qomani mengatakan tidak perlu mempermasalahkan penggunaan niqab. Baginya, itu hanya alasan untuk membedakan warga negara satu dengan yang lainnya.
Qomani mengatakan, perempuan berjilbab tetap memiliki kebebasan dan dukungan secara hukum. Penggabaran wajah bukanlah sebuah hambatan yang berarti. “Secara hukum itu diperbolehkan, tapi menyembunyikan dan menghalangi
identitas,” tulis seorang tweeps ditengah pedebatan itu.