REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Iran, Hassan Rouhani dan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak masuk dalam daftar tokoh yang akan ditemui oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama di sela-sela Sidang Umum PBB pekan depan, demikian keterangan Gedung Putih Senin (15/9).
Sebelumnya sejumlah pihak memperkirakan Obama dan Rouhani akan bertemu untuk membahas sejumlah persoalan. Kedua pemimpin itu sempat berbicara melalui telepon saat menghadiri Sidang Umum PBB.
"Saya tidak tahu apakah tokoh-tokoh tersebut akan masuk dalam daftar pertemuan presiden pada pekan depan," kata juru bicara Gedung Putih Josh Earnest saat ditanya mengenai kemungkinan pertemuan antara Obama dengan Putin ataupun Rouhani.
Namun karena Gedung Putih belum menyiarkan jadwal resmi Obama selama Sidang Umum PBB di New York pekan depan, pertemuan antara ketiga tokoh itu masih mungkin terjadi.
Pembicaraan telepon antara Obama dan Rouhani pada September tahun lalu adalah titik bersejarah dalam upaya meredakan ketegangan Washington-Tehran. Pembicaraan tersebut membuka jalan bagi munculnya kesepakatan sementara mengenai program nuklir Iran.
Saat ini Iran, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain tengah berunding untuk menjadikan kesepakatan sementara itu menjadi permanen.
Perundingan nuklir Iran kini mencapai tahap penting karena kesepakatan permanen harus bisa dicapai sebelum akhir November. Selain itu, Amerika Serikat juga kini tengah membombardir tetangga Tehran, Irak, untuk mengusir kelompok garis keras Daulah Islam.
Mengenai hal terakhir itu, pemimpin tertinggi Iran Ali Khomeini mengatakan bahwa Iran telah menolak permintaan Amerika Serikat untuk bergabung dalam koalisi internasional melawan kelompok Daulah Islam.
Merespon pernyataan Khomeine, Gedung Putih mengatakan bahwa Washington tidak akan melakukan koordinasi militer maupun intelejen dengan Tehran.
Sementara itu dengan Rusia, pertemuan terakhir antara Obama dengan Putin terjadi pada Juni lalu saat keduanya menghadiri 70 tahun peringatan pendaratan D-Day di Normandy, Prancis.
Hubungan kedua negara memburuk saat Washington memberlakukan sejumlah sanksi untuk Moskow sebagai bentuk hukuman atas dugaan intervensi militer di Ukraina timur.