REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar Jumat merupakan hal yang penting di kota Kailahun, Sierra Leone. Di pasar tersebut biasanya para petani dan pedagang dari seluruh distrik terpencil datang untuk melakukan transaksi jual beli.
Tapi sudah satu bulan lebih, Pasar Jumat tidak digelar. Sejak pemerintah menerapkan larangan perjalanan dan pertemuan umum, demi membatasi penyebaran ebola, ekonomi rakyat Sierra Leone kian tercekik.
"Bisnis ini benar-benar buruk, selama tiga bulan mereka telah menempatkan kami layaknya di penjara. Kami tak diperbolehkan pergi ke mana pun," ujar pemimpin serikat pedagang untuk Kailahun Gbessay Ngobeh pada Aljazeera.
Ngobeh menggambarkan, pembatasan perjalanan dan pelarangan pertemuan umum diterapkan sejak ebola melanda negaranya awal Maret silam.
Bank, sekolah, dan pasar yang lebih kecil telah ditutup selama beberapa bulan. Hal itu dilakukan dalam upaya membatasi penularan penyakit lebih lanjut.
Orang-orang pun bejuang melalui pengawasan pemerintah dalam melakukan perjalanan. Pos pemeriksaan tentara berada di sepanjang jalan raya, memantau pergerakan orang.
Banyak orang khawatir setelah mendengar, 2.400 orang meninggal karena ebola di Afrika Barat. Organisasi kesehatan selama ini memperingatkan cepatnya penyebaran virus.
"Saya dulu membeli dari Freetown. Sekarang aku tak bisa pergi, saya harus membeli di Kenema. Kenema sekarang sangat mahal," ujar Mohamed Bangura, salah satu dari sejumlah pedagang pakaian yang tersisa di kios pasar Kailahun.
Bangura mengatakan, ia mengambil pinjaman untuk menjaga bisnis tetap berjalan. Tapi ia tak tahu bagaimana dia akan membayar ini kembali.
Sementara itu, seorang ibu menjual tumpukan kecil cabe mengatakan, sebelum ada ebola bisa mendapatkan penghasilan hingga 50 ribu SLL atau Rp 137 ribu. Kini untuk memberi makan tujuh anggota keluarganya, ia cukup beruntung jika mendapat 10 ribu SLL atau sekitar Rp 27 ribu.
Sebanyak 80 persen populasi di wilayah ini berprofesi sebagai petani. Mereka menggantungkan diri pada pertanian.