REPUBLIKA.CO.ID, EDINBURGH -- Jutaan warga Skotlandia Kamis (18/9), menggelar sebuah referendum untuk menentukan apakah akan tetap menjadi bagian dari Inggris. Setelah 700 tahun lalu Skotlandia berhasil dibebaskan, kemerdekaan kali ini bisa terjadi dengan cara lebih sederhana.
Namun di tengah pemungutan suara yang telah berlangsung sejak pukul 06.00 waktu setempat, jajak pendapat menunjukkan sebagian besar Muslim Skotlandia dan etnis minoritas lainnya mendukung kemerdekaan. Memang masih terlalu dini untuk mengumumkan hasil pemungutan suara.
Tapi Al-Arabiya melaporkan, jajak pendapat yang diselenggarakan radio Asia Awaz FM menyatakan 64 persen orang Asia di Skotlandia memilih merdeka. Sebagian besar orang Asia di negara itu merupakan Muslim. Hampir 1,4 persen dari 6 juta orang di Skotlandia adalah Muslim.
Salah seorang warga Muslim Ahmed Sheikh mengatakan, kemerdekaan akan menyebabkan penutupan pusat penahanan imigrasi seperti Dungavel yang terletak di Skotlandia. "Muslim Skotlandia memiliki suara dan itu penting. Bagi siapa pun yang masih ragu-ragu, mereka harus memilih 'ya'," katanya.
Banyak Muslim di Skotlandia mengatakan, pemerintah Inggris selama ini bertindak melawan hukum dengan terlibat dalam perang di Irak dan Afghanistan. Ahmed mengatakan, ia telah berbicara pada umat Islam di Skotlandia sepanjang waktu. "Ada perasaan kuat bahwa menjadi independen akan memungkinkan kita lebih banyak kontrol atas kebijakan luar negeri. Tak lagi akan dituntun ke dalam 'perang ilegal'," tambahnya.
Fasilitator utama untuk kampanye kemerdekaan Skotlandia di Asia Nighet Riaz mengatakan, suara 'ya' dalam referendum akan memungkinkan Skotlandia menjadi tumpuan harapan di seluruh dunia. Skotlandia, menurut dia, akan menjadi pembawa perdamaian. Dimana Skotlandia dapat mengontrol keputusan kebijakan luar negeri dan tak menyebabkan konflik yang tak perlu.
Riaz mengatakan, ini bukan tentang menjadi anti-Inggris atau tidak menjaga pound. Ini merupakan evolusi alami untuk Skotlandia."Kami telah berkontribusi terhadap Inggris dan ya, kita memang harus menjaga pound. Ada negara-negara lain yang menggunakan dolar." kata Riaz.