REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Keluarga korban pesawat Malaysia Airlines MH17 asal Jerman berencana menuntut Ukraina dan presidennya atas kecerobohannya untuk tidak menutup ruang udara negara tersebut, kata seorang pengacara, Ahad (21/9).
Elmar Giemulla, jaksa dan guru besar hukum penerbangan yang mewakili tiga keluarga Jerman tersebut mengatakan ia akan segera mengajukan tuntutan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg. "Setiap negara memikul tanggung jawab untuk keamanan ruang udaranya," tulis dia dalam pernyataan yang dikirim ke AFP.
"Dengan membuka wilayah udaranya untuk penerbangan dari negara lain, negara tersebut harus memastikan keselamatan penerbangan. Jika ini tidak mungkin untuk sementara, itu artinya negara itu harus menutup ruang udaranya."
Pesawat Malaysia Airlines Boeing 777 meledak di atas wilayah yang dikuasai pemberontak di timur Ukraina pada 17 Juli, menewaskan seluruh 298 penumpang dan awak pesawat, 193 diantaranya merupakan warga negara Belanda. Empat korban merupakan warga Jerman, demikian menurut data maskapai tersebut.
Temuan awal oleh tim penyelidik kecelakaan udara yang dipimpin Belanda mendukung klaim bahwa pesawat tersebut ditembak dengan rudal anti-pesawat.Kiev dan negara Barat menuding kelompok pemisah yang menembak jatuh pesawat itu dengan rudal darat-ke-udara BUK yang dipasok oleh Rusia-- tuduhan yang sudah dibantah oleh Moskow.
Giemulla mengatakan dalam waktu sekitar dua minggu ia akan mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah Ukraina dan Presiden Petro Poroshenko dengan dakwaan menyebabkan kematian 298 orang akibat kelalaiannya, dan menghitung kerugian akibat penderitaan yang dialami setidaknya satu juta euro (1,3 juta dolar AS) per korban.
Ia mengatakan proses pengadilan tidak akan menyasar Rusia karena "bukti -bukti belum mencukupi" namun menambahkan bahwa ia tidak menyingkirkan kemungkinan untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap Moskow di masa depan.