REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Indonesia Update Conference, atau yang sering disebut sebagai konferensi tentang Indonesia yang terbesar yang digelar di luar Indonesia. Tahun ini diselenggarakan di kampus ANU, Canberra, 19-20 September. Kinerja pemerintahan SBY menjadi topik utama.
Konferensi yang digelar tahunan sejak 1983 itu, kali ini membahas 10 tahun masa kepemimpinan Presiden SBY dengan tajuk ‘Yudhoyono years: an assessment’.
SBY adalah presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia pada tahun 2004 dan SBY juga presiden pertama yang dipilih kembali sebagai presiden pada tahun 2009.
Indonesianis kenamaan dari seluruh dunia berkumpul di ibukota Australia. Selain itu, ahli ekonomi, politik, lingkungan, HAM dan gender dari berbagai negara. Mereka mempresentasikan gagasan dan penilaian mereka atas kinerja SBY dalam berbagai bidang selama menjabat presiden selama dua periode tersebut.
Tak kurang dari 400 akademisi, pemerhati Indonesia dan mahasiwa Indonesia yang sedang belajar di Australia berbondong-bondong ke Canberra menghadiri konferensi bergengsi yang diselenggarakan oleh ANU Indonesia Project, College of Asia and the Pacific.
Dalam konferensi itu mengemuka bahwa, warisan SBY dalam kebijakan luar negeri adalah keberhasilannya membuat Indonesia diperhitungkan kembali dalam peta perpolitikan global.
Hal ini dianggap positif karena sejak awal periode kepresidenan, ia langsung menghadapi kondisi geopolitik yang tidak menguntungkan semisal adanya ancaman gerakan separatisme, terorisme, krisis finansial yang masih menyisakan terapi kejut dan juga reformasi politik yang belum beres.
Dibahas pula bahwa SBY berhasil mengangkat ekonomi Indonesia ke tingkat yang lebih baik, sehingga Indonesia tergabung dalam G20. Lalu, ia berhasil membina hubungan yang baik dengan China dan AS, bahkan bisa 'menarik kembali' AS ke Indonesia dan menjaga kedekatan hubungan ekonomi dan politik yang baik dengan China.
Namun, menurut Evi Fitriani, pengajar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, secara umum, platform politik luar negeri Indonesia dianggap tidak naik signifikan.
"SBY cenderung menggunakan pendekatan ‘thousand friends zero enemy’. Selain itu, masyarakat internasional dianggap lebih memahami kebijakan politiknya daripada komunitas dalam negeri Indonesia sehingga dalam beberapa hal, SBY lebih memilih mengurus masalah hubungan internasional yang berhubungan dengan Indonesia daripada memberi perhatian serius dan menyelesaikan isu-isu domestik." kata Evi Fitriani.
Dalam bidang politik dalam negeri, misal isu desentralisasi, dosen illmu politik dari Universitas La Trobe di Melbourne, Dirk Tomsa, berasumsi bahwa kebijakan ini di masa SBY tidak dianggap sebagai keberhasilan yang serius juga tidak sebagai kegagalan total.
"Pemekaran daerah dan provinsi yang ada tidak selalu menguntungkan dan juga merugikan. Bahkan beberapa kelemahan dalam menerapkan kebijakan ini telah membuat pemerintah mencoba menata ulang kebijakan desentralisasi." kata Tomsa.
Mengenai sengketa hukum, menurut Tomsa, MK di bawah pimpinan Jimly Asshidiqie dan Mahfud MD dianggap berhasil memberi keputusan yang adil dan konstitusional secara umum. Era kepemiminan Mahfud MD ditandai dengan meningkatnya aktivisme perundangan dalam negeri, dengan MK menginvalidasi 105 kasus dari 404 kasus yang diproses. Hanya saja di akhir jabatan SBY, Akil Mochtar yang menggantikan Mahfud MD menodai pencapaian itu dengan dipenjara terkait kasus suap.
Isu Lingkungan
Pembicara Avi Mahaningtyas mantan koordinator Tim Gugus Kerja mengenai Iklim dan Hutan Indonesia, berpendapat bahwa dalam soal kebijakan lingkungan, 10 tahun kepemimpinan SBY dapat dinilai dengan frasa ‘big commitments, slow results’ (banyak komitmen besar tetapi hasilnya lambat). SBY dianggap punya komitmen yang baik dalam hal kebijakan perubahan iklim dalam skala nasional dan global. Namun ia tidak strategis dalam menggunakan momentum politik, utamanya lambat dalam mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan.
SBY mengesahkan UU Lingkungan Nomor 32/2009 yang sebenarnya bisa jadi amunisi penting untuk mewujudkan janji-janjinya, namun lemah dalam penegakan aturan ini. Bahkan, oleh pembicara Patrick Anderson penasehat kebijakan dari komunitas HAM Inggris bernama The Forest Peoples Programme, Kementrian Lingkungan Hidup dianggap sebagai institusi besar yang tak punya power, dalam hal pengawasan dan penegakan hukum.
Sementara itu pembicara Robin Bush dari Universitas Nasional Singapura menilai, dalam soal perlindungan terhadap hak-hak minoritas SBY dianggap kurang berorientasi pada minoritas dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan oleh Abdurrahman Wahid. Namun, SBY jauh lebih peduli jika dibandingkan dengan kebijakan yang ada di era Suharto.
Dominic Berger, seorang kandidat doktor ilmu politik di National University of Canberra berpendapat bahwa selama masa pemerintahan SBY, Indonesia setidaknya mempunyai track record perlindungan HAM yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Indonesia juga berhasil menghindar dari kemunduran besar penegakan HAM dalam dekade terakhir.
"Namun, hal positif penegakan HAM ini tidak terkait banyak dengan peran SBY sebagai presiden. Ia dalam beberapa momen krusial dianggap telah gagal menunjukkan niat dan kemauan politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia." kata Berger.
Kasus Munir yang dianggapnya sebagai test of our history pun gagal dituntaskan. SBY lebih memilih untuk fokus pada jalur penegakan HAM dimana ada sedikit resistensi yang akan dimunculkan.
Kesejahteraan Sosial
Menurut Faisal Basri, dosen senior pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, terlepas dari banyak program social welfare yang diinisiasi pada era-nya, juga strategi besar yang diperkenalkan ke publik, dan kebijakan desentralisasi yang diterapkan, prestasi SBY jauh dari ekspektasi publik.
"Ada 3 hal yang menjadi bukti ketidaksuksesan SBY. Pertama, Indonesia kehilangan sisi kompetitif di ranah pendidikan. Kedua Indonesia jadi lebih bergantung pada subsidi dan bantuan sosial lainnya. Ketiga, Indonesia gagal mewujudkan Millenium Development Goals dalam bidang kesehatan," jelasnya.
"Yang justru terlihat oleh publik adalah meningkatnya birokratisasi usaha pengentasan kemiskinan."
Tidak adanya leadership yang baik dalam urusan kesejahteraan sosial menurut Faisal Basri, menyebabkan orang miskin Indonesia tidak bisa diberdayakan dan kemiskinan tak bisa ditanggulangi sepenuhnya. "Yang ada, orang miskin justru sangat tergantung pada birokrasi pemerintahan yang sedang berjuang memahami bagaimana menerjemahkan kebijakan SBY pada tataran praksis dan perubahan di masyarakat," jelasnya.
Menurut Greg Fealy, Associate Professor di College of the Asia and the Pacific ANU, SBY adalah presiden yang baik, namun ia bukanlah pemimpin terbaik jika dibandingkan dengan presiden RI sebelumnya. Fealy mendeskripsikan 10 tahun kepemimpinan SBY dengan 3 kata kunci: majoritarian democracy, insecurity and hubris.
Salah satu kepribadian SBY yang dianggap mempengaruhi gaya kepemimpinannya adalah sikapnya yang sering insecure. SBY selalu gelisah tentang persepsi masyarakat akan dirinya dan ia selalu sensitif dalam menanggapi setiap kritik yang diarahkan untuknya. Ia pun sering terlihat ragu-ragu dalam mengambil keputusan penting.
Karenanya, SBY mengikuti pendapat mayoritas dengan selalu mencari informasi dari lembaga polling tantang apa yang sebenarnya publik inginkan dalam isu-isu penting. SBY menganggap cara yang demikian sebagai cara demokratis dan untuk menghindarkan diri dari pergolakan domestik.
Secara keseluruhan, 10 tahun masa kepemipinan SBY menandai kembalinya Indonesia secara politik ke kondisi normal setelah krisis multidimensional yang mengakhiri era panjang pemerintahan Soeharto dan periode transisi politik Indoensia yang penuh gejolak.
Mengutip Dewi Fortuna Anwar, periode 2004-2014, memberi kita banyak pelajaran berharga apa yang sebaiknya dilakukan dan ditinggalkan pemerintahan Jokowi-JK. Dewi melanjutkan, 10 tahun pemerintahan SBY telah memberikan fondasi yang kokoh untuk Indonesia dan bagi Jokowi-JK untuk melanjutkan Indonesia ke masa depan dengan percaya diri, baik di dalam maupun di luar negeri.
*Shohib Essir adalah dosen UIN Jakarta yang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Nasional Canberra dan juga ketua PPIA negara bagian ACT.