Abdullah Khoury selalu melihat kesempatan dalam tiap tantangan yang ia hadapi. Pandangan hidup inilah yang membawanya pergi dari sebuah desa di Lebanon ke benua lain yang berjarak ribuan mil, dan akhirnya menjalani hidup bahagia di Kota Strathfield, New South Wales.
Kini perjalanannya itu dikenang pada sebuah dinding di Museum Maritim Nasional, di Pelabuhan Darling, Sydney.
Museum Maritim Nasional mempertimbangkan kedatangan gelombang imigran ke Australia sebagai salah satu tema utama dalam sejarah maritim Australia.
Museum ini telah membangun ‘Dinding Penyambutan’ di sisi utara bangunan, yang menghadap Pelabuhan Darling dan Teluk Pyrmont, tempat di mana banyak pendatang dulunya tiba di Australia.
Anak Abdullah yang berusia 48 tahun, Rodney, menominasikan ayahnya untuk dikenang dalam ‘Dinding Penyambutan’ tersebut. Rodney Khoury sangat bangga terhadap kontribusi ayahnya dalam kehidupan Australia.
“Ia membawa kami ke tempat yang baik,” ujar Rodney tentang komitmen sang ayah terhadap keluarga.
Abdullah bekerja keras membawa sejumlah imigran dari negara asalnya agar mereka mendapat kesempatan yang sama. Selama bertahun-tahun, Abdullah membantu lebih dari 80 orang dari desa asalnya, yakni Saghbine di Libanon, untuk bermigrasi ke Australia.
“Siapapun yang menulis kepada saya bahwa ia ingin pergi, saya tolong,” kisah Abdullah belum lama ini.
Ia juga membantu membentuk badan amal yang menyediakan kebutuhan para migran untuk hidup baru mereka di Australia. “Suatu hari di bandara, ia melihat seorang pria yang baru saja tiba dan kelihatan tersesat, akhirnya ia undang pria tersebut ke rumah,” cerita Rodney akan perjuangan ayahnya.
Pria itu akhirnya tinggal bersama keluarga Rodney selama 3 bulan, dan akhirnya menikahi saudara ipar Abdullah, ayahnya. “Kami Kristen dan dia Muslim, tapi itu tak masalah buat ayah,” tutur Rodney.
Kebaikan hati Abdullah berarti bahwa rumah keluarga mereka selalu terisi dengan para imigran yang tengah memulai hidup baru. “Para sepupu dari desa ayah datang dan tinggal selama setahun,” kenang Rodney.
Kebaikan hati yang ditunjukkan Abdullah mencerminkan berbagai peluang yang telah dialaminya sebagai pria muda, setelah dilahirkan di Rio de Janeiro. “Ayah saya meninggal, sehingga ibu saya membawa kami kembali ke Libanon,” cerita Abdullah.
Sementara ibunya pergi ke Beirut untuk bekerja, Abdullah tinggal dengan bibinya di sebuah desa kecil.
Bibinya ini yang lantas mengajarkan Abdullah untuk membaca dan berbicara dalam bahasa Inggris serta mengajarkannya tentang pentingnya belajar.
Ketika Abdullah berusia 14 tahun, ia pergi dari rumah dan bekerja di sebuah toko Falafel di Beirut, tempat di mana ia mampu mengatur pembukuan bagi pemilik toko yang buta huruf.
Setelah Perang Dunia ke-2, Abdullah mendapat pekerjaan di Perusahaan Minyak Irak yang terletak di Tripoli, Libya, berkat kemampuan bahasa Inggrisnya.
“Semua yang ada di perusahaan itu membicarakan tentang Australia, ‘mereka butuh laki-laki, mereka butuh pekerja’. Akhirnya saya tahu kalau mereka membutuhkan pekerja pabrik alat berat di Australia,” sebut Abdullah.
Ia lantas memohon pabrik lokal di Tripoli untuk mengajarkannya berdagang, belajar di sela-sela waktu senggang saat ia tak bekerja di perusahaan minyak Irak tersebut.
Pertolongan kepada orang asing
Kerja kerasnya dan rasa hausnya akan pengetahuan membuat Abdullah mendapat kesempatan untuk memenangkan visa ke Australia, tapi sebuah kebetulan yang tak disangka-lah yang membuatnya benar-benar mendapatkan visa tersebut.
“Suatu siang, saya melihat ada mobil yang berhenti di pinggir jalan,” cerita Abdullah.
Setelah menolong pemilik mobil membetulkan mobilnya, Abdullah membawa pria itu dan keluarganya ke kantornya dan memberi mereka makan.
Pemilik mobil itu rupanya pegawai senior di Kedutaan Australia yang kemudian menolong aplikasi visa Abdullah.
Abdullah pertama kali tiba di Sydney dan kemudian sempat menghabiskan beberapa tahun bekerja di daerah pegunungan.
Pada tahun 1959, saat ia berusaha kembali ke Sydney untuk memulai hidup baru, kereta yang ditumpanginya berhenti di kota Strathfield.
Abdullah berpikir bahwa kota perhentiannya itu adalah Sydney, bukannya Strathfield yang masih berjarak 30 menit berkendara dari ibukota negara bagain New South Wales itu. Ia lantas melihat sebuah rumah dijual di ‘Churchill Avenue’.
Akhirnya ia membeli rumah itu dengan seluruh hasil tabungannya, dan di rumah itulah ia membesarkan kelima anaknya dan menolong imigran baru di Australia.