REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Bank Sentral Australia, yaitu RBA, kemungkinan akan mengeluarkan kebijakan yang bisa membatasi pinjaman beresiko untuk para investor bidang perumahan yang di Indonesia dikenal dengan nama Kredit Pembelian Rumah (KPR).
Dalam laporan tinjauan stabilitas finansial pertengahan tahunnya, RBA memperingatkan bahwa ada lebih banyak investor bidang perumahan yang memasuki pasar bila dibandingkan jumlah yang bisa dijamin oleh permintaan sewa. "Maka, komposisi pasar perumahan dan kredit rumah (KPR) menjadi tidak seimbang. Jumlah pinjaman pada investor tidak sebanding dengan proporsi rumah yang disewakan dalam persediaan perumahan," nyata RBA, baru-baru ini.
Saat ini, lebih dari 40 persen dari jumlah pinjaman baru di tingkat nasional adalah pinjaman investor. Jumlah ini lebih banyak lagi di titik-titik investasi yang digemari di Sydney dan Melbourne. Selama dua tahun terakhir, jumlah persetujuan KPR untuk investor naik hampir dua kali lipat di negara bagian New South Wales, dan naik 50 persen di Victoria.
Di saat yang sama, proporsi pinjaman yang diberikan ke pembeli rumah pertama justru dalam posisi yang tercatat paling rendah. Pertumbuhan kredit untuk pemilik sekaligus pihak yang menempati rumah pun cenderung lesu.
RBA khawatir banyak investor yang terjun ke pasar hanya karena mengira harga rumah akan terus naik, dan bukan berdasarkan perkiraan jumlah pembayaran sewa yang akan mereka terima.
Selain itu, dikhawatirkan permintaan spekulatif tambahan macam itu akan meningkatkan siklus harga properti dan selanjutnya akan meningkatkan potensi merosotnya harga.
Standar pemberian pinjaman bank tampak tidak menurun, tapi RBA pun mempertanyakan apakah standardisasi macam itu masih cocok atau tidak. "Satu pertanyaan besar untuk stabilitas makroekonomi dan finansial adalah apakah praktek peminjaman di industri perbankan cukup konservatif untuk menghadapi kombinasi rendahnya suku bunga, pertumbuhan harga perumahan yang pesat, dan lebih tingginya tingkat hutang rumah tangga dibanding dekade-dekade sebelumnya."
RBA pun telah mendiskusikan ini dengan badan pengawas perbankan Australia, yaitu APRA, dan sejumlah badan regulator lainnya.
APRA telah meminta bank untuk mengurangi peminjaman dengan rasio pinjaman-nilai (Loan-to-Value Ratio) tinggi dan memakai standar konservatif terakait penilaian properti, dan juga terkait ujian untuk menilai kemampuan peminjam dalam menangani pinjaman dengan suku bunga yang lebih tinggi.
Di berbagai negara, seperti Selandia Baru dan Inggris Raya, ditetapkan batas-batas untuk jenis pinjaman tertentu. Salah satu pinjaman yang dianggap beresiko adalah interest-only loan, dimana sang peminjam hanya membayar bunga pinjaman hingga waktu tertentu, kemudian baru membayar nilai pinjaman awal.
Pinjaman atau KPR macam itu biasanya lebih diminati mereka yang membeli properti dengan tujuan investasi.