REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Bagi Muslim Australia, operasi pemberantasan terorisme besar-besaran yang dilancarkan pemerintah membawa konsekuensi tersendiri. Sebagian Muslim menganggap pemerintah bersikap rasis dan diskriminatif.
Muslim Australia mengatakan komunitas mereka secara tidak adil menjadi target oleh penegak hukum dan mendapat ancaman dari kelompok sayap kanan.
Australia menetapkan siaga tinggi sejak operasi pemberantasan terorisme pekan lalu. Pemerintah mengatakan telah menggagalkan rencana kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Pengacara pidana Adam Houda mengatakan pemerintah sangat jelas menargetkan sasaran berdasarkan profil rasial. Dia mencontohkan, Jumat pekan lalu polisi menahan tiga pria Muslim berjenggot di sebuah pertandingan rugby. Ketiganya ditahan setelah mendapat laporan dari penonton yang mengatakan para pria itu menggunakan telepon genggamnya secara mencurigakan.
"Fakta-fakta obyektif menunjukkan mereka ditahan karena penampilan mereka. Jika mereka ditahan karena bermain dengan telepon mereka, hal itu sangat konyol," ujar Houda, Rabu (24/9).
Para pemimpin Muslim lokal secara pribadi mengatakan ketegangan rasial bisa dengan cepat berkembang di luar kendali. Pada 2005 terjadi perkelahian antara penduduk setempat dari lingkungan Cronulla yang sebagian besar berkulit putih dan pemuda Muslim Lebanon dari wilayah Sydney barat.
Perkelahian tersebut dengan cepat lepas kendali dan berubah menjadi ajang pertumpahan darah selama beberapa hari. Ribuan orang terlibat di dalamnya.
Perdana Menteri Tony Abbott sedang mencari kekuatan keamanan baru untuk memerangi ancaman yang ditimbulkan kelompok-kelompok radikal. Pengamanan kepolisian diperketat di tempat-tempat umum seperti Gedung Parlemen, acara olahraga dan bandara. Abbott menegaskan tindakan pengamanan tidak dimaksudkan untuk menargetkan Muslim.