REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kekerasan di Xinjiang akhir-akhir ini semakin meningkat. Ketegangan antara komunitas Uighur dan pemerintah Cina ini semakin memanas.
Seorang pengamat wilayah Xinjiang Cina, Michael Clarke pun mengamati penyebab perubahan taktik dalam meningkatnya kekerasan di Xinjiang. Menurut juru bicara Kemenlu Cina Hong Lei, serangan yang terjadi pada 22 Mei yang menargetkan pasar terbuka di Shayibake, Urumqi, menunjukan bahwa kelompok teroris Uighur sangatlah angkuh.
Insiden yang terjadi di wilayah yang mayoritas dihuni oleh etnis Han ini menyebabkan 31 warga tewas dan 94 warga lainnya terluka. Rentetan serangan yang terjadi sepanjang tahun ini pun dinilai berkaitan dengan Xinjiang dan Uighur, termasuk serangan yang terjadi pada 1 Maret di stasiun kereta Kunming serta serangan bom di stasiun Urumqi.
Pola serangan ini menunjukan adanya peningkatan atau radikalisasi dari Uighur terhadap aturan Cina. Namun, berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya yang menargetkan kepolisian, aparat keamanan, dan pejabat pemerintahan, serangan kali ini justru menargetkan ruang terbuka yang sangat jelas dilakukan tanpa pandang bulu.
Perubahan taktik ini menunjukkan adanya dua kemungkinan. Pertama, upaya ini dilakukan untuk meningkatkan konflik yang bukan hanya terjadi antara kelompok Uighur dan pemerintahan Cina, tetapi juga terhadap etnis Han di wilayah itu. Dan kedua, kelompok Uighur ingin menggambarkan dirinya lebih mirip dengan kelompok teroris seperti kelompok al-Qaeda dan sejenisnya.
Lalu mengapa baru terjadi sekarang?
Ada dua kemungkinan. Pertama, hal ini berhubungan dengan peran Beijing yang lebih suka menyebut istilah "pengaruh permusuhan dari luar" di Xinjiang. Hal ini lebih mengarah pada pengaruh kelompok radikal Islam yang sering kali disalahkan oleh Pemerintah Beijing, yakni Pergerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) dan Partai Islam Turkistan (TIP).
Kedua kelompok ini memiliki perbedaan. ETIM hanya terlihat sejak akhir 1990-an hingga awal 2000. Kelompok ini makin tak tampak menyusul kematian pemimpinnya, Hasan Mahsum saat operasi militer Pakistan di Waziristan pada 2003.
Sedangkan, kelompok TIP muncul pada 2005 yang dinilai sebagai organisasi penerus. Kelompok ini memiliki anggota antara 200 hingga 400 orang yang bermarkas di dekat Mir Ali di Waziristan Utara dan merupakan sekutu Taliban Pakistan dan Gerakan Islam Uzbekistan (IMU).
TIP sangat berbeda dengan ETIM. Kelompok ini bahkan mengaku bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi di Xinjiang serta dukungannya terhadap serangan di Kunming dan stasiun kereta Urumqi. Mereka juga menggunakan internet sebagai alat untuk merekrut anggota barunya melawan aturan Cina.
Kemungkinan kedua yakni hubungan antara kebijakan Cina di Xinjiang dengan meningkatnya kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi. Tujuan Beijing sejak wilayah tersebut dimasukkan ke dalam Republik Rakyat Cina pada 1949 yakni ingin mengintegrasikan Xinjiang dan populasi non-Han baik dalam politik, ekonomi, dan budaya menjadi negara kesatuan Cina yang multi-etnis.
Upaya ini dilakukan melalui berbagai strategi yakni represi, pembatasan, dan investasi. Pada awal 1990-an, Beijing membangun proyek modernisasi serta menggelontorkan miliaran dolar untuk pembangunan dan infrastruktur yang menghubungkan perekonomian wilayah itu dengan negara tetangga dan Asia Tengah. Hal ini dilakukan untuk meredam ketidakpuasan kelompok Uighur.
Namun, modernisasi ini justru menambah ketidakpuasan Uighur karena adanya kesenjangan antar-etnis dan perbedaan ekonomi di kota dan di desa, serta didorongnya pemukiman etnis Han di Xinjiang, demikian dikutip dari BBC.