Ahad 28 Sep 2014 00:03 WIB

Sejarah Terorisme Palsu, dari Kekaisaran Romawi hingga Kini

  Seorang pria berupaya menyelamatkan seorang anak yang terluka setelah serangan udara pasukan yang loyal kepada Presiden Bashar al-Assad di Duma, dekat kota Damaskus, Suriah, Kamis (11/9). (Reuters/Bassam Khabieh)
Seorang pria berupaya menyelamatkan seorang anak yang terluka setelah serangan udara pasukan yang loyal kepada Presiden Bashar al-Assad di Duma, dekat kota Damaskus, Suriah, Kamis (11/9). (Reuters/Bassam Khabieh)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak strategi yang diadopsi para tokoh sejarah dalam pertarungan menguasai politik kota, negara maupun tampuk pimpinan global.

Michael Rivero dalam 'Fake Terror, the Road to War and Dictatorship' di What Really Happened, menjelaskan anatomi terorisme palsu sebagai cara melanggengkan kekuasaan.

Menurutnya, salah satu tokoh yang diketahui sejarah pertama sekali menggunakan taktik ini adalah Marcus Licinius Crassus tahun 70 sebelum Masehi di kekaisaran Romawi.

Crassus merupakan elit yang menciptakan brigade pemadam kebakaran.

Namun, kemampuannya itu dia salahgunakan untuk kepentingan sendiri.

Crassus, yang memiliki pasukan budak pemadam kebakaran ini, malah akan diam-diam membakar properti yang menolak dijual kepadanya.

Dengan cara kerja yang canggih dan tidak pernah diungkap pengadilan, terlihat apa yang dilakukan Crassus seperti sesuatu yang legal.

Alhasil, aksi teror yang dilakukannya membuat pemilik properti di Roma ketakutan dan dengan rela menyerahkan propertinya bila sudah diinginkan Crassus walau dengan tawaran rendah. [Baca: Terorisme Palsu Hantui Dunia]

"Dengan cara ini, Crassus menjadi pemilik individual properti terkaya di Roma, diapun menggunakan kekayaannya untuk membantu Julius Caesar kembali menguasai Romawi dari Cicero," tulisnya.

David K. Shipler di Sunday Review, New York Times, tahun 2012 menuliskan penggunaan taktik kuno ini dalam era modern di artikel 'Terrorist Plots, Hatched by the F.B.I.'

FBI ternyata tidak beda jauh dari saudaranya lembaga intelijen AS, CIA, dalam melanggengkan kekuasaan Paman Sam di dunia dan kepada warganya sendiri.

Namun, cara kerja yang canggih itu pula, para aktivis perdamaian dunia jarang dapat mengungkapkan keterlibatan pengguna taktik 'terorisme palsu' di depan pengadilan, kecuali hanya tuduhan saja, seperti kasus Suriah.

Selain itu, Paul Harris, dalam 'Fake terror plots, paid informants: the tactics of FBI 'entrapment' questioned' di the Guardian 2011, juga mengungkapkan hal yang sama.

Di sini, disebutkan, FBI malah menteror warga sendiri agar berkenan menjadi pelaku terorisme palsu di masyarakat. [Baca: Benarkah 'Kekhalifahan Amerika' akan Berdiri di Dunia?]

Trevor Aaronson, dalam bukunya 'The Terror Factory: Inside the FBI's Manufactured War on Terrorism' yang dapat diperoleh dari Amazon menjelaskan lebih lanjut bagaimana taktik teror palsu ini diproduksi untuk melawan terorisme yang mungkin saja dihasilkan oleh terorisme palsu juga.

"Dengan alasan sebagai konter-terorisme sejak 9/11, [FBI] membangun jaringan yang terdiri dari 15.000 informan yang mempunyai tugas utama menginfiltrasi warga Muslim [AS dan dunia?] untuk menciptakan ancaman aksi terorisme palsu, agar FBI kemudian dapat mengatakan telah berhasil memenangi perang melawan terorisme," tulis review mengenai buku itu di Amazon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement