REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Libya meminta para pemimpin dunia memberi lebih banyak senjata dan dukungan lain untuk memulihkan keamanan dan membangun pemerintahan. Jika tidak, Libya akan menghadapi terorisme sendirian.
Presiden Dewan Perwakilan Rakyat Libya Aguila Saleh Iissa mengatakan Libya kini berada dalam kekacauan. Dalam beberapa pekan terakhir, Libya mengalami kekerasan terburuk sejak penggulingan gaddafi pada 2011. Hal itu memaksa pemerintah meninggalkan gedung pemerintahan di ibukota.
Perpecahan terjadi antara kelompok Islamis dan nonIslamis. Terbentuk kelompok suku dan kelompok yang setia pada pemerintah. Kelompok-kelompok tersebut dengan cepat mengisi kekosongan kekuasaan yang gagal diakomodasi pemerintah transisi.
"Ini tidak akan terjadi jika komunitas internasional menganggap serius situasi di Libya," ujar dia, Sabtu (27/9) saat berpidato di Majelis Umum PBB.
Pemerintah Libya tidak mampu mengendalikan kelompok-kelompok oposisi yang dulu membantu menggulingkan Muammar Gaddafi. Kedua kelompok tersebut kini justru saling bertempur.
Milisi di Tripoli membunuh jurnalis, aktivis politik dan hak asasi manusia. Saleh Iissa mengatakan mereka menutup saluran televisi.
Milisi membentuk media dan sejumlah pemuka agama radikal mendorong kalangan yang berbeda pendapat dibunuh. Kalangan yang mendukung pemerintah dan DPR juga dibunuh.
Kelompok oposisi bersenjata dari kota Misrata menguasai Tripoli Juli lalu. Tindakan itu memaksa parlemen pindah ke kota Tobruk di timur. Militan Libya bulan lalu mengambil alih Kedutaan Besar AS di Tripoli yang sudah kosong. Kota kedua terbesar di Libya, Benghazi, juga berhasil dikuasai milisi.
"Di atas podium ini, saya sampaikan dunia tidak bisa lagi menutup mata atas terorisme di Libya. Komunitas internasional harus memilih apakah berdiri bersama otoritas sah terpilih atau dengan jelas mengatakan Libya harus menghadapi terorisme sendirian," kata Saleh Iissa.
Dia menambahkan terorisme dan ekstremisme sekarang terbentuk secara luas dari Irak hingga Aljazair. Tindakan lamban komunitas internasional akan membuat dunia menghadapi dampak perluasan terorisme di Afrika Utara dan kawasan Sahel.