REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK-- Libya memohon pada komunitas internasional, pada Sabtu (27/9), untuk membantu mereka melawan milisi Islam yang bersekutu dan telah menguasai gedung-gedung pemerintahan negara tersebut. Libya mengatakan, PBB harus menjatuhkan sanksi atau risiko ekspansi teroris di seluruh Afrika Utara.
Presiden DPR Libya Ageila Saleh Eissa di hadapan Majelis Umum PBB mengatakan ia tak bisa terima jika dunia internasional menutup mata terhadap terorisme yang terjadi di Libya. Ia meminta masyarakat internasional melalui otoritas yang sah menjatuhkan sanksi pada para militan.
Libya meminta dukungan senjata maupun dukungan lainnya, untuk membantu memulihkan keamanan dan membangun kembali insititusi negara tersebut. Menurut Eissa masalah terorisme di Libya tak akan terjadi kalau masyarakat internasional menganggap serius situasi Libya.
"Masyarakat internasional harus menahan efek ekspansi terorisme di Afrika Utara dan wilayah Sahel," ujarnya.
Libya telah jatuh dalam kekacauan selama beberapa pekan terakhir. Insiden beberapa waktu terakhir merupakan yang terburuk sejak penggulingan diktatro Moammar Gadhafi 2011 silam.
Kekerasan yang meletus Juli lalu, memaksa DPR Libya untuk bersidang di kota timur Tobruk setelah milisi merebut Tripoli dan Benghazi. Milisi sementara itu membentuk pemerintahan sendiri dan mempekerjakan kembali anggota parlemen yang keluar.
Perpecahan di Libya berakar dari persaingan antara kelompok Islamis dan non-Islamis, serta kesetiaan pada suku. Pemerintah transisi berturut-turut telah gagal mengendalikan mereka.
Kekerasan terbaru telah membuat Libya dipimpin oleh dua pemerintah, dua parlemen hingga memperdalam perpecahan. Eissa mewakili parlemen yang diakui secara internasional.
Eissa mengatakan, milisi di Tripoli telah menuntut wartawan, politisi dan aktivis HAM untuk menutup saluran televisi. Ia menambahkan, kelompok tersebut memiliki media dan beberapa ulama radikal menurutnya menghasut orang-orang untuk membunuh.