REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah Indonesia secara resmi meminta Pemerintah Australia untuk membantu penyelesaian sengketa tumpahan minyak yang mencemari pesisir pantai Timor Barat di Propinsi NTT. Tumpahan itu diduga berasal dari pengeboran minyak Montara di celah Timor, yang dijalankan PTTEP Australasia di Perth.
Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum atas perusahaan yang beroperasi di perairan Australia tersebut. Sementara Australia selama ini menyatakan tidak pernah menerima permintaan formal dari pemerintah Indonesia guna membantu penyelesaian masalah ini.
Tumpahan itu sendiri terjadi bulan Agustus 2009. Saat itu terjadi ledakan pada sumur minyak lepas pantai dan menyebabkan tumpahan minyak mentah ke Laut Timor selama 74 hari.
Menurut perkiraan kebocoran minyak mencapai 500 ribu liter perhari. Lima tahun kemudian, ABC mendapatkan dokumen resmi yang dikirim Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia pekan lalu meminta kerjasama Australia menyelesaikan isu ini.
Surat tersebut dialamatkan ke Kedutaan Besar Australia di JakarTa. "Dampak tumpahan minyak Montara telah merusak kehidupan masyarakat pesisir... tumpahan minyak Montara itu menyebar ke zona ekonomi eksklusif Indonesia," demikian antara lain isi surat tersebut baru-baru ini.
Disebutkan, upaya negosiasi pemerintah Indonesia dengan pihak PTTEP Australasia selama ini tidak mencapai kata sepakat. Surat itu mendesak pemerintah Australia untuk "mendorong" PTTEP Australasia untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Namun, sebuah pernyataan yang dirilis PTTEP Australasia menyebutkan, pihaknya justru tidak memperoleh izin dari pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan di wilayah perairan Indonesia. "Menurut modeling yang ada, tidak ada tumpahan minyak yang mencapai daratan Australia atau Indonesia, dan sekitar 98 persen tumpahan tersebut masih berada di wilayah perairan Australia, kebanyakan berada di radius 23 kilometer dari lokasi pengeboran," kata pernyataan itu.
Namun sejumlah pakar tidak sependapat dengan pernyataan PTTEP Australasia. Menurut Dr Bob Spies yang membantu penanganan tumpahan minyak Exxon Valdez dan Gulf of Mexico, paling tidak 20 persen tumpahan minyak Montara itu mencapai perairan Indonesia.
Perhitungannya itu didasarkan atas citra satelit dari tumpahan tersebut.
Dr Spies juga mengunjungi Timor Barat dan mendengar enekdot dari warga setempat mengenai tumpahan minyak itu.
Meskipun jumlah tumpahan minyak itu yang mencapai pesisir itu tidak banyak, namun tetap memiliki dampak serius terhadap lingkungan hidup.
Seorang pakar perikanan Australia Richard Mounsey kebetulan berada di wilayah tersebut saat kejadian.
Ia mengaku melihat langsung dampak dari tumpahan minyak itu atas lingkungan pesisir. "Saya saksikan di sekitar awal September 2009, saat saya turun ke laut untuk berenang, saya merasakan air laut yang keruh," katanya.
Saat itu ia belum tahu adanya kejadian tumpahan minyak. "Saya kira ini bukan kesalahan Indonesia atau Australia, tapi perusahaan minyak itu telah mengadu kedua pemerintah sehingga mereka bisa lolos dari pertanggungjawaban," tegas Mounsey.
Dengan adanya surat resmi Indonesia tersebut, ABC meminta konfirmasi kepada pemerintah Australia.
Menurut jurubicara Departemen Luar Negeri Australia (DFAT), mengungkapkan, ada surat resmi lainnya dari Kementerian Perhubungan Indonesia kepada otoritas keamanan laut Australia (AMSA) tertanggal 19 September 2014 yang meminta informasi dan bantuan terkait penyelesaian ganti rugi tumpahan minyak ini.
"Pihak DFAT akan mendiskusikan surat ini dengan AMSA dan lembaga terkait lainnya. Penelitian telah dilakukan di wilayah perairan Australia menyusul tumpahan minyak itu. Kami memahami bahwa tumpahan minyak tidak mencapai pesisir pantai Indonesia," kata pernyataan DFAT tersebut.
Namun, ketika wartawan ABC George Roberts berkunjung ke Timor Barat beberapa waktu lalu, warga setempat yang umumnya bekerja sebagai petani rumput laut, menunjukkan hal yang berbeda.
Salah seorang di antaranya, Marlens Lauwe (54 tahun), yang menjadi petani rumput laut di Tablolong, Timor Barat.
"Sebelum tahun 2009, pendapatan kami cukup baik. Biasanya kami memanen 4 hingga 5 ton rumput laut dengan harga antara 15 ribu hingga 20 ribu rupiah perkilo," tutur Marlens.
Ia menjelaskan, setelah adanya tumpahan minyak, pertumbuhan rumput laut terganggu dan malah muncul zat berwarna putih terutama pada jenis rumput laut yang paling mahal yang disebut "green gold".
"Sekarang kami masih menghasilkan panen tapi nilainya paling maksimal 1 juta rupiah sebulan,' kata Marlens.
Sementara di daerah Lifuleo, nelayan bernama Arbet Saketu mengaku mengalami penyakit kulit.
"Kami mengalami gatal-gatal ini biasanya pada April ketika angin timur bertiup," kata Arbet menunjuk ke arah pengeboran minyak Montara.
Ferdi Tanoni yang telah ditunjuk oleh pemerintah daerah setempat mewakili masyarakat pesisir, telah berusaha selama 5 tahun ini untuk membuktikan dampak tumpahan minyak tersebut.
"Kami harus adil. Perusahaan minyak itu juga harus adil," katanya.
"Jika tidak terbukti, mereka tidak perlu membayar apa-apa. Tapi jika ada buktinya, mereka harus bertanggung jawab, baik perusahaan itu maupun pemerintah Australia," kata Ferdi.
Dengan dukungan dari pemerintah Indonesia, Ferdi mengunjungi Canberra, untuk menyampaikan langsung persoalan ini kepada pemerintah Australia.