REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Korban jiwa dikhawatirkan jatuh setelah dua bom meledak di Ibu Kota Afghanistan, Kabul, Rabu pagi (30/9), kata beberapa sumber.
"Ledakan pertama terjadi pada pukul 06.20 waktu setempat, dan ledakan itu diikuti oleh ledakan lain pada pukul 06.32. Ledakan pertama ditujukan kepada satu bus pemerintah yang membawa personel keamanan di Wilayah Kart-e-Char di Kabul Barat," kata saksi mata yang bernama Ahmad Farshad.
Serangan tersebut terjadi sehari setelah negeri tersebut dan Amerika Serikat menandatangani Kesepakatan Keamanan Bilateral (BSA) di Kabul untuk memungkinkan sejumlah terbatas tentara tetap berada di Afghanistan setelah penarikan tentara pimpinan NATO dari negeri itu pada 2014.
Beberapa ambulans dan kendaraan polisi segera dikerahkan ke daerah itu, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi.
Peristiwa tersebut juga terjadi dua hari setelah Ashraf Ghani Ahmadzai diambil sumpahnya sebagai Presiden baru Afghanitan.
"Saya kira serangan itu adalah reaksi Taliban atas penandatanganan BSA dengan Amerika Serikat," kata saksi mata tersebut.
Langkah besar itu dilakukan saat Presiden Ashraf Ghani berusaha memperbaiki hubungan dengan Washington.
Perincian mengenai ledakan kedua masih belum diketahui.
Hamid Karzai, yang selesai masa jabatannya sebagai presiden Afghanistan pada Senin (29/9), telah menolak menandatangani persetujuan tersebut -- suatu ketaksepakatan yang melambangkan pecahnya hubungan Afghanistan-AS setelah optimisme tahun 2001, ketika Taliban digulingkan dari tampuk kekuasaan.
Penasehat Keamanan Nasional Afghanistan Hanif Atmar dan Duta Besar AS James Cunningham menandatangani persetujuan keamanan dua-pihak (BSA) dalam suatu upacara di Istana Kepresidenan di Kabul, peristiwa yang disaksikan oleh Ghani.
Banyak janji bantuan jangka panjang internasional bergantung pada penadatanganan BSA untuk memperkuat keamanan.
Faksi Taliban masih menjadi ancaman utama kendati usaha untuk memadamkan aksi perlawanan faksi itu dilancarkan oleh Pasukan Bantuan Keamanan Internasional NATO, pimpinan AS.
Operasi tempur NATO dijadwalkan berakhir pada penguhujung tahun ini, dan Taliban telah melancarkan serangkaian serangan yang telah menguji kemampuan tentara dan polisi Afghanistan.
Misi lanjutan NATO, yang akan mengambil-alih tanggung jawab pada 1 Januari tahun depan, akan beranggota 9.800 tentara AS dan sekitar 3.000 prajurit Jerman, Italia serta negara anggota lain persekutuan itu.
Misi baru tersebut --yang diberi nama Resolute Support-- akan dipusatkan pada pelatihan dan bantuan bagi pasukan Afghanistan dalam melawan Taliban, sejalan dengan operasi kontra-teroris AS.