REPUBLIKA.CO.ID, DALLAS -- Pejabat kesehatan federal Amerika Serikat telah mengkonfirmasi kasus ebola pertama yang terdeteksi di negara tersebut, pada Selasa (30/9). Kasus ini mengindikasikan semakin meluasnya penyebaran epidemi yang berkembang di Afrika Barat itu.
Para pejabat mengatakan, pria yang tidak diidentifikasikan tersebut tengah dalam kondisi kritis dan diisolasi di Rumah Sakit Presbetarian sejak Ahad (28/9). Mereka menyatakan tak akan mengungkapkan kebangsaan atau usia pasein.
Pihak berwenang telah mulai melacak keluarga, teman dan orang lain yang mungkin melakukan kontak dengan pasien, hingga beresiko tertular. Namun pejabat mengatakan, tak ada kasus lain yang dicurigai di Texas.
Derektur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tom Frieden mengatakan, pria tersebut meninggalkan Liberia pada 19 September. Ia tiba di hari berikutnya untuk mengunjungi kerabat dan mulai merasa sakit empat atau lima hari kemudian. Frieden mengatakan, belum diketahui bagaimana pasien terinfeksi.
Frieden menambahkan, pasien tak mengancam penumpang pesawat lain. Sebab menurutnya, pasien tak memiliki gejala saat terbang dengan pesawat. Ia tak yakin jika ada orang lain yang tertular di penerbangan yang sama dengan korban.
"Ebola tak menyebar sebelum seseorang jatuh sakit dan ia belum sakit sampai empat hari kemudian setelah turun pesawat," ujarnya.
Gejala ebola dapat diketahui dari demam, nyeri otot, muntah dan perdarahan. Gejala muncul 21 hari setelah korban terpapar virus. Penyakit tak akan menular, sampai korban mengalami gejala dan membutuhkan kontak sangat dekat dengan cairan tubuh yang menyebar.
"Saya tak ragu, kami akan menghentikan penyebaran di AS. Tapi saya sadar wabah telah menyebar luas dari Afrika, kita perlu berjaga-jaga," Ungkap Frieden.
Frieden memberikan penjelasan pada Presiden Barack Obama melalui telepon tentang diagnosa ebola.
Berita tentang kasus ebola ini membuat khawatir komunitas masyarakat Liberia di Dallas.
Presiden Asosiasi Komunitas Liberia Dallas Stanley Gaye mengatakan, banyak orang-orang Liberia di sana menelponnya untuk mencoba mencari tahu keluarga korban. "Kami memperingatkan orang-orang untuk menjauh dari pertemuan-pertemuan umum," kata Gaye.
Sebelumnya empat pekerja bantuan AS yang terinfeksi ebola di Afrika Barat telah diterbangkan kembali ke AS untuk menjalani pengobatan. Mereka kini dirawat di fasilitas isolasi khusus di rumah sakit di Atlanta dan Nebraska. Tiga dari empat pasien telah dinyatakan pulih.
Selain itu seorang dokter AS yang terkena virus di Sierra Leone tengah dirawat di fasilitas serupa di Insitut Kesehatan Nasional. Hingga saat ini AS baru memiliki empat unit isolasi.
Ahli epidemiologi dokter Edward Goodman mengatakan, AS jauh lebih siap untuk menangani penyakit dibanding rumah sakit di Afrika. Pelayanan medis di Afrika kerap mengalami kekurangan mulai dari dokter, sarung tangan, baju hingga masker.
"Kami tak memiliki masalah tersebut. Jadi kami sangat mampu merawat pasien tanpa menimbulkan risiko pada orang lain," kata Goodman.
Sejak musim panas, para pejabat kesehatan AS telah mempersiapkan diri akan kemungkinan wisatawan membawa virus ebola. Otoritas kesehatan mengimbau rumah sakit untuk mencegah virus menyebar di fasilitas tersebut.
Liberia merupakan salah satu negara paling terpukul dengan epedemi ebola. Dua negara lain yang juga rawan adalah Sierra Leone dan Guinea.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ebola diyakini telah menginfeksi lebih dari 6.500 orang di Afrika Barat, dan menyebabkan lebih dari 3.000 kematian. Namun sepertinya virus tersebut masih dianggap remeh, melihat belum memadainya laboratorium untuk menguji orang-orang agar tak terjangkit ebola.
Dua laboratorium keliling yang dikelola tim peneliti Angkatan Laut AS tiba akhir pekan ini. Kedutaan Besar AS di Monrovia mengatakan, laboratorium itu akan mulai beroperasi pekan ini. Laboratorium keliling diharapkan dapat mempersingkat waktu untuk mendiagnosa orang yang terinfeksi ebola.
Militer AS juga telah mengirimkan peralatan untuk membangun rumah sakit darurat. Awalnya rumah sakit tersebut dirancang untuk mengobati tentara di zona tempur. AS juga berencana membangun 17 klinik di Liberia, dan akan membantu melatih tenaga kesehatan lainnya untuk staf mereka.