Rabu 01 Oct 2014 16:42 WIB

Situasi Myanmar tak aman, Kedubes AS Peringatkan Warganya

Myanmar
Foto: Reuters/Damir Sagolj
Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kedutaan Besar AS di Myanmar pada Rabu mengeluarkan peringatan bagi warganya yang bepergian ke wilayah timur Myanmar setelah terjadinya bentrokan antara militer dengan pemberontak etnik minoritas.

Berbagai kelompok pemberontak menentang pemerintah pusat di Myanmar tak lama setelah kemerdekaan negara tersebut pada 1948. Sementara pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai gencatan senjata dengan hampir semua faksi, bentrokan kadangkala masih terjadi.

Kedubes AS mengatakan insiden sepanjang pekan lalu termasuk serangan granat terhadap sebuah bus di provinsi Karen dan penemuan dua bahan peledak di kota Myawaddy, provinsi Karen yang berbatasan dengan Thailand.

"Jika Anda melihat sesuatu yang mencurigakan, tinggalkan kawasan segera dan laporkannya ke otoritas setempat," kata Kedubes dalam akun Twitternya.

"Jangan sentuh, pindahkan atau mengutak-atik paket mencurigakan."

Tidak ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan terhadap bus tersebut dan para pejabat Myanmar juga tidak menyebutkan adanya korban jiwa dalam insiden itu.

Media melaporkan bentrokan sepanjang pekan lalu antara militer dan Tentara Kebaikan Demokratik Karen dan faksi Kesatuan Nasional Karen (KNU), faksi gerilyawan minoritas yang mempunyai kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintah.

Pihak militer Myanmar dan pejabat pemerintah tidak memberikan komentarnya.

Thailand menyiagakan pasukannya di perbatasan pekan ini karena bentrokan di provinsi Karen tersebut, kata Paradorn Pattanathabutr, penasihat kedua pada Kantor Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.

Pada Senin, Thailand menutup perbatasan antara kota Mae Sot dan Myawaddy, salah satu perbatasan utama antara kedua negara. Seorang pejabat Thailand mengatakan kepada Reuters pada Rabu bahwa perbatasan telah dibuka kembali.

Putaran terakhir pembicaraan damai antara pemerintah Myanmar dengan sederet faksi gerilyawan etnik minoritas berakhir pada 27 September tanpa mencapai kesepakatan gencatan senjata secara nasional.

Sebagian besar faksi pemberontak berjuang untuk mendapatkan otonomi lebih luas berdasar sistem federal.

Pemerintahan semi-sipil Myanmar yang mengambil alih kekuasaan pada 2011 setelah selama hampir 50 tahun berada di bawah pemerintahan militer, membuat penandatangan gencatan senjata nasional ini sebagai bagian dari program reformasi.

"Kami yakin bahwa kami sekarang semakin mendekati perdamaian yang komprehensif dan selamanya," kata Menteri Luar Negeri Wunna Maung Lwin di hadapan Majelis Umum PBB pada Senin.

Namun seorang pejabat di KNU, Kolonel Ner Dah Mya mengatakan pemerintah harus waspada bentrokan terakhir tersebut akan menghambat upaya mencapai kesepakatan nasional.

"Bentrokan yang terjadi bisa menghancurkan pembicaraan damai," katanya kepada Reuters.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement