REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Beberapa warga Indonesia di Australia sudah dan akan melakukan berbagai kegiatan sebagai bentuk menentang terhadap keputusan DPR Indonesia baru-baru ini yang mengesahkan UU Pilkada.
Semisal di Perth (Australia Barat), Rabu (1/10) lalu, sekitar 30 WNI beramai-ramai mendatangi Konsulat Jendral RI di kota tersebut. Menggunakan kostum hitam-hitam, mereka menggelar “Layatan Matinya Partisipasi Rakyat”. Rombongan tersebut merupakan gabungan dari mahasiswa Indonesia yang tengah menjalani studi di berbagai universitas di Perth, serta masyarakat diaspora Indonesia.
Pada Hari Jumat (3/10) dari Canberra, Ibu Kota Australia, Persatuan Pelajar Indonesia cabang Australian Capital Territory (PPIA ACT) mengeluarkan pernyataan sikap yang menyesalkan dan mengecam pengesahan keputusan DPR tersebut,
Selain itu, PPIA ACT juga menggelar aksi damai di depan Gedung Parlemen Australia di Canberra pada hari Senin, 6 Oktober 2014 dengan berpakaian hitam sebagai bentuk atas apa yang mereka sebut duka cita atas matinya demokrasi di Indonesia.
Di Federation Square, Melbourne, Sabtu (4/10) beberapa kelompok masyarakat Indonesia akan mengadakan aksi "Fight Back for Indonesia's Democracy",yang digagas oleh Aliansi Pro Demokrasi Indonesia di Melbourne, Komunitas Bhineka Melbourne dan Kelompok Diskusi Indonesia yang dilangsungkan di siang hari dari jam 11.30.
Di hari yang sama di Sydney, bertempat di Hyde Park akan diselenggarakan Aksi Damai Menolak UU Pilkada, dengan nama New South Wales Menolak Diam yang dimulai pukul 17 waktu setempat.
Dalam aksi Layatan hari Rabu di Perth, warga Indonesia yang hadir mengatakan mereka berduka atas pengesahan UU Pilkada. "Dengan diubahnya mekanisme pemilihan menjadi via DPRD, akuntabilitas demokrasi menjadi lemah, serta fungsi kontrol eksekutif hanya berada di tangan politisi DPRD, bukan pada rakyat. Dampaknya para kepala daerah hanya akan melayani kehendak elit-elit partai politik, bukan melayani rakyat,” demikian disampaikan Tio Novita Efriani, koordinator aksi.
Mahasiswa Murdoch University ini melanjutkan, persoalan mendasar yang dihadapi oleh demokrasi Indonesia adalah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada elite-elite partai politik dan politisi di Parlemen. Maka di titik inilah pemilihan langsung menjadi penting. Ia jadi tumpuan rakyat untuk menjaga agar kepercayaan publik tetap hadir.
Irwansyah Jemi, salah satu peserta aksi, menambahkan bahwa hubungan antara skala korupsi dengan pemilihan langsung tidak berdasar. Sebab, porsi korupsi terbesar ada di level elite politik, bukan di akar rumput. Dengan pemilihan langsung, perilaku elite dapat lebih dikontrol, dan rakyat pun dapat secara langsung menagih janji kepada pemimpin.
Sementara itu dalam rilis yang diterima oleh wartawan ABC L. Sastra Wijaya dari Canberra, PPIA ACT mengeluarkan pernyataan sikap yang sama yaitu menyesalkan bahwa DPR meloloskan UU Pilkada.
“Telah banyak kajian yang dilakukan oleh akademisi dalam maupun luar negeri mengenai pilkada langsung yang diterapkan di Indonesia sejak 2005. Secara umum kajian-kajian tersebut memperlihatkan bahwa terjadi pembelajaran politik di tengah masyarakat karena pilkada langsung,” kata Dini Suryani, anggota Departemen Kajian, Gerakan, dan Keilmuan (KGK) PPIA ACT.
Pilkada langsung juga menjadi saluran agregasi kepentingan yang akuntabel bagi masyarakat, lanjut Dini, di tengah inefektifitas partai politik akibat kuatnya dominasi oligarki yang menggerogoti partai. Terlebih, pelembagaan partai juga masih belum bisa menjadikannya sebagai pilar
Terkait dengan pilkada langsung tidak sesuai dengan sila ke-4 dari Pancasila, Yogi Permana, Koordinator Departemen KGK PPIA ACT menjelaskan, “Perdebatan mengenai ide pilkada langsung itu bukan ‘nilai asli Indonesia’ dan ‘impor nilai Barat’ adalah retorika yang kental dengan tendensi otoritarianisme karena Orde Baru menggunakan retorika yang persis sama untuk merepresi bangsa Indonesia selama 32 tahun.”
Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Presiden PPIA ACT, Shohib Essir, organisasi pelajar di Australia ini menyerukan: 1) mendukung upaya elemen masyarakat Indonesia melalui uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi, 2) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk bertanggung jawab dengan mengambil sikap tegas sebagai kepala Negara melalui keputusan politik resmi presiden, dan 3) mendesak Presiden terpilih Joko Widodo untuk mengembalikan UU Pilkada kepada DPR RI ketika resmi menjabat dan berupaya untuk menjamin hak konstitusional warga Negara untuk memilih sendiri kepala daerahnya.