Ahad 05 Oct 2014 14:32 WIB

Perdagangan Bebas AS dan Uni Eropa Munculkan Kontroversi

Rep: c88/ Red: Mansyur Faqih
Bendera negara anggota Uni Eropa (ilustrasi)
Foto: UWORKERS
Bendera negara anggota Uni Eropa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MARYLAND -- Pejabat AS dan Uni Eropa menyatakan, telah membicarakan lebih lanjut soal perdagangan bebas antarkedua wilayah. Keduanya ingin mengurangi hambatan yang memengaruhi perdagangan.

Tim kedua pihak telah mengadakan diskusi selama satu pekan di Chevy Chase, Maryland. Pertemuan itu menghasilkan perjanjian yang akan membentuk zona perdagangan bebas terbesar di dunia.

Kepala negosiator AS Dan Mullaney mengatakan kepada BBC, tujuan utama adalah untuk menciptakan lapangan kerja di bidang perdagangan dan investasi. AS dan Uni Eropa mencoba mengeliminasi tarif di bidang pajak dan barang impor. 

Selain itu mereka bertekad menghilangkan apa yang disebut dengan ‘hambatan non-tarif”.

Perundingan ini merupakan pertemuan yang diselenggarakan untuk ketujuh kalinya antara AS dan Uni Eropa. Sejak awal tahun lalu, AS dan Uni Eropa memang aktif membicarakan soal perdagangan bebas, terutama di kedua wilayah.

Mullaney mengatakan mereka telah mengalami kemajuan perundingan. “Masing-masing pihak mengajukan banyak usulan dan kami telah meraih banyak kemajuan,” terang Mullaney.

Perjanjian Uni Eropa dengan negara adidaya itu dikenal dengan Trans-Atlantic Trade and Investment Partnership (TTIP). Dalam konferensi persnya, kepala negosiator dari kedua belah pihak menolak membocorkan kapan batas waktu perundingan tersebut.

Sementara pemangku kepentingan di sektor perdagangan mulai membicarakan detil, beberapa pejabat tinggi yang lain justru menyuarakan penolakan. Hal yang paling mengundang kontroversi adalah ketentuan bagi investor asing untuk maju hingga pengadilan internasional jika pemerintah melanggar aturan yang merugikan kepentingan perusahaan.

Uni Eropa telah menggelar konsultasi publik mengenai ketentuan itu. Kini mereka tengah melakukan analisis kebijakan. Kepala negosiator Uni Eropa, Ignacio Garcia Bercero mengatakan, diskusi terakhir di Maryland tidak menyinggung soal ketentuan tersebut.

Kubu yang menolak ketentuan itu dikomandoi oleh pemerintah Jerman. Sehingga masih belum ada kepastian apakah negara ini akan menghadiri pertemuan antara AS dan Uni Eropa terkait keputusan akhir perundingan.

Kritik juga ditujukan atas perjanjian yang mempersoalkan kekhawatiran adanya penurunan standar terhadap perlindungan konsumen dan keamanan pangan. Pihak pihak yang menentang juga menuduh para negosiator tidak bekerja untuk kepentingan publik.

“Sampai ada penelitian publik mengenai isi perjanjian, kami tidak tahu standar-standar apa saja yang diturunkan,” ujar Polly Jones dari World Development Movement.

Direktur War on Want, John Hillary, mengungkapkan, TTIP mencederai demokrasi. Namun tim negosiator membantah berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement