REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Tantangan memulai hidup di negara baru bagi para imigran. Artinya, mereka menemui kesulitan untuk meminta dan mencari bantuan yang mereka butuhkan. Sejumlah konselor di Australia ini membawa pengalaman pribadi mereka untuk membantu mengatasi stigma yang melekat pada akses layanan kesehatan mental.
Tiap tahun, ribuan imigran baru datang ke Australia untuk memulai hidup baru, membentuk keluarga dan berpartisipasi sebagai warga negara di tanah harapan ini. Meski demikian, bagi banyak orang, proses menetap di negara baru memiliki sejumlah tantangan unik yang bisa mempengaruhi kualitas hidup.
Batul Gulani adalah psikoterapis Australia keturunan Pakistan dan pendiri Federasi AMAFHH yang berbasis di Melbourne, organisasi yang menawarkan dukungan kepada sejumlah komunitas berbeda budaya dan bahasa.
"Memberikan konseling tak hanya tentang membantu orang dengan masalah kesehatan mental, tak satupun dari kita bebas dari stres atau kekhawatiran, ini adalah bagian dari menjadi manusia, dan tiap orang bisa memetik manfaat dari konseling," ujarnya.
Meski banyak layanan konseling tersedia untuk membantu warga Australia dengan urusan kerja, keluarga, pribadi, kesehatan, serta keuangan, seringkali masih ada batasan pada seberapa banyak dukungan konvensional bisa tercapai tanpa adanya pertimbangan serius atas perspektif budaya dan pengalaman hidup di luar Australia.
"Banyak orang tak mencari bantuan dari agensi pemerintah karena mereka tak ingin agensi tersebut datang ke komunitas mereka. Tapi jika mereka tak mengakses konseling yang layak, ada bahaya yang luput dari pengamatan dan di kemudian hari mereka muncul ke rumah sakit dengan masalah psikologis yang serius," jelas Batul, baru-baru ini.
"Jadi kami berusaha menjembatani perbedaan yang ada dan mengarahkan mereka ke sumbernya."
Psikoterapis Maurice Grant-Drew juga memiliki spesialisasi dalam bidang layanan dan konseling bagi para imigran.
"Orang-orang ini benar-benar pengungsi. Mereka tak yakin dan tak sadar akan apa yang mereka butuhkan. Mereka datang dengan peluang yang kecil bahkan untuk mencari tahu apa yang ada di luar sana," katanya.
Ia mengutarakan, "Kita tak bisa meremehkan dampak dari keterasingan sosial terhadap kesehatan mental dan emosional. Hal yang tetap penting bahwa komunitas imigran mampu mengakses layanan bantuan seperti konseling."
Persepsi yang menantang
Para konselor di AMAFHH mengatakan, mengatasi stigma gangguan mental masih menjadi tantangan yang signifikan.
"Banyak orang yang membutuhkan, tapi mereka menolak bantuan karena mereka tak ingin dipandang memiliki masalah kejiwaan dalam komunitas mereka. Saya tahu beberapa klien yang datang ke konselor tapi merasa cemas di ruang tunggu jika mereka bertemu anggota lainnya dari komunitas yang juga melakukan konseling," ujar Batul.
Psikoterapis Marnie Dromund mengatakan, menampilkan layanan bantuan sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan hidup terbukti telah menjadi pendekatan ampuh bagi para imigran yang membutuhkan, untuk mengakses layanan ini.
"Konseling adalah jasa bantuan, yang bisa dimanfaatkan siapa saja tanpa memiliki masalah kejiwaaan," tuturnya.
Untuk mencapai tujuan ini, sejumlah workshop di AMAFHH fokus pada topik seperti 'temukan diri anda' serta 'anda dan bayi anda'. Batul menjelaskan ini sebagai sebuah 'proses yang umum'.
"Ketika para perempuan mengalami kesulitan sebelum dan sesudah persalinan, kita menghindari untuk merujuk mereka pada perawatan pra-persalinan dan depresi pasca persalinan. Kami justru merujuk mereka pada pembelajaran tentang bayi - tentang bagaimana menjadi orang tua," sebutnya.
"Ketika anda mengatakan 'anak anda menderita atau membutuhkan bantuan', orang tua memandang hal ini sebagai peluang campur tangan. Sehingga kami tak mengajak orang untuk datang dengan mengatakan bahwa mereka punya masalah. Kami justru mengadakan workshop 'parenting'. Mereka setuju untuk datang karena mereka melihat saya sebagai orang tua yang akan menolong mereka."
Ia mengatakan, workshop tersebut diadakan untuk menolong para imigran belajar mengenai diri mereka dalam kerangka komunitas. Setelah kebutuhan teridentifikasi, para staf bisa menawarkan bantuan, solusi, dan nasehat.
Batul mengutarakan, pengalaman pribadinya sebagai orang tua sekaligus imigran di Australia terus membuatnya terlibat dalam komunitas.
"Sebagai seorang anak, saya mengalami rasisme dan xenofobia dari lingkungan sebaya saya dan bahkan orang dewasa. Dan meski saya tak berbuat salah, saya diolok-olok karena konsepsi yang salah. Sebagai anak, saya tak tahu atau punya kata-kata, ungkapan atau kemampuan untuk berbicara. Jadi waktu itu ada banyak kemarahan, dan sejumlah masalah, kesedihan serta isolasi dan marjinalisasi," ungkapnya.
Ia menuturkan, "Dengan adanya putra saya yang datang ke Australia di usia yang sangat belia, saya harus beradaptasi dengan keinginan saya. Ia tak tertarik dengan universitas seperti kakak laki-lakinya. Sehingga saya bilang kepada para imigran agar mereka memberi lebih banyak fleksibilitas bagi anak-anak mereka sembari terus mengajarkan mereka tentang budaya dan disiplin."
Sementara latar belakang budaya membutuhkan pertimbangan, semua konselor spesialis menekankan pentingnya penanganan individu. "Tiap kasus itu unik dan berbeda. Ada beberapa perbedaan budaya yang muncul dalam tiap sesi," tutur Marnie.
But understanding the circumstances of each person’s needs, can take time and patience. Trauma, resettlement anxiety, or simply coping with family and professional life can take their toll.
Tapi memahami kondisi dari tiap kebutuhan orang, membutuhkan waktu dan kesabaran. Trauma, kecemasan akan tempat baru atau beradaptasi dengan keluarga dan kehidupan profesional bisa menjadi parah.
"Ketika mereka mengalami goncangan, kita harus memberi mereka waktu. Kita harus memberi mereka ruang untuk berpikir dan berbicara sehingga mereka sadar bahwa ada masalah adaptasi. Atau ada masalah sosialisasi di komunitas," jelasnya.
Maurice Grant-Drew mengisahkan perjalanan seorang ayah dua anak asal Sudan yang istrinya meninggal di posko pengungsian di negara lain. "Ia menderita trauma, tak memiliki kemampuan untuk mendidik anak dan bahkan tak tahu makanan apa yang ditempatkan di kotak makanan karena makanannya sangat berbeda," ungkapnya.
"Jadi kami membiarkannya untuk duduk, menarik nafas, berbicara, dan membolehkannya untuk meredakan stresnya. Kami mendengar kebutuhannya."
Maurice mengatakan, dengan diberi waktu untuk merefleksikan diri, ayah dua anak tersebut mampu mengidentifikasi apa yang ia butuhkan sebagai orang tua dan berkontibusi bagi Australia.
"Selama konseling berjalan, ia sadar bahwa kami ada untuk memahami kebutuhannya dan menolongnya mencari tujuan."
"Ini sungguh kehormatan menjadi bagian dari perjalanan ini. Kami hanya memberi tahu bahwa kita ada bersama-sama, anda akan bisa melalui ini, ini hanya membutuhkan waktu."