Kamis 09 Oct 2014 15:01 WIB

Setelah 86 Tahun, Bekas Lokasi Pembantaian Aborijin Dikembalikan

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, YURRKURU -- Tanah adat yang merupakan bekas lokasi pembantaian terakhir warga Aborijin Australia, yang tercatat, akhirnya dikembalikan kepada para pemilik asalnya.

Menteri Urusan Adat, Nigel Scullion, mengunjungi Yurrkuru, yang terletak 274 kilometer di barat laut Alice Springs, untuk memberikan akte tanah ke sejumlah pemilik asal. Pada tahun 1928 di lokasi ini, di dekat peternakan sapi Coniston, sekitar 100 orang Aborijin dibunuh sebagai pembalasan atas kematian satu orang kulit putih. Pembunuhan tersebut lantas dikenal dengan sebutan ‘pembantaian Coniston’.

Menteri Urusan Adat, Nigel Scullion, menyerahkan kembali<a href= tanah adat ke para pemilik asal di Yurrkuru." />

Warga Warlpiri dan Amantyerre menyambut kedatangan Menteri Nigel ke wilayah mereka dengan tarian dan nyanyian tradisional.

Sesepuh komunitas Warlpiri, Teddy Long, mengatakan, beberapa generasi di keluarganya telah berjuang agar pembantaian ini diakui dan tanah mereka dikembalikan. “Ayah saya telah menjelaskan apa yang terjadi pada hari-hari penembakan itu. Pada saat itu, banyak orang dibunuh di sini dan karena itulah saya telah berjuang sangat keras untuk mendapatkan kembali tanah ini,” jelasnya.

Para pemilik awalnya mengajukan klaim atas tanah adat tersebut di tahun 1985. Pada tahun 1991, Komisi Pertanahan Aborijin merekomendasikan agar tanah tersebut dikembalikan.

Pada saat upacara penyerahan, Menteri Nigel memberikan akte dari tanah adat seluas 1 mil persegi kepada Teddy. Menteri Nigel memuji kerja keras Teddy untuk mendapatkan kembali tanahnya dan mengatakan bahwa kembalinya tanah tersebut ke para pemilik asal akan melindungi tempat itu.

“Mempercayakan tanah ini untuk dikembalikan adalah satu-satunya cara agar para pemilik asal mendapatkan pengasuhan dan merawat tanah ini, yang sebenarnya tempat penting bagi seluruh warga Australia,” urainya.

Ia menambahkan, “Teddy bekerja sangat keras, dan satu-satunya yang pernah ia katakan adalah bahwa ini adalah tanahnya dan ia akan terus berjuang untuk sepotong tanah ini.”

Yurrkuru atau Brook’s Soak dalam bahasa Inggris, adalah pusat dari periode tergelap Australia. Pada tahun 1928, pemburu anjing liar putih, Fred Brooks, dibunuh oleh pria Aborijin ‘Bullfrog’ Japangka di lokasi itu. Polisi lokal kemudian memimpin aksi pembunuhan balas dendam yang lantas dikenal dengan pembantaian Coniston.

Data resmi dari pihak berwenang menyebut, 40 warga Aborijin tewas, namun cerita sejarah yang dituturkan dari mulut ke mulut menyebut lebih dari 100 orang Aborijin dibunuh. Konflik itu adalah bagian dari konfrontasi yang berkelanjutan antara para penggembala dengan suku Aborijin.

Pada akhir era 1920an, Australia Tengah mengalami kekeringan yang parah. Ada konflik yang meningkat antara warga Aborijin yang mencari air dengan penggembala yang melindungi suplai terbatas untuk sapi mereka.

Perdana Menteri saat itu, Stanley Bruce, membentuk tim investigasi untuk menyelidiki aksi polisi dan para penggembala. Akhirnya diputuskan bahwa saat itu polisi melakukan tindakan pembelaan diri.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement