Selasa 14 Oct 2014 15:55 WIB

Pemerintah Australia Hadapi Kasus Pencari Suaka

Rep: Gita Amanda/ Red: Winda Destiana Putri
Perdana Menteri Australia Tony Abbott tiba di Bali pada 6 Oktober 2013.
Foto: AP Photo
Perdana Menteri Australia Tony Abbott tiba di Bali pada 6 Oktober 2013.

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Pemerintah Australia tengah menghadapi dua kasus terkait pencari suaka di pengadilan, pada Selasa (14/10).

Pemerintah Australia menghadapi gugatan atas kebijakannya terhadap para pencari suaka. BBC News melaporkan, kasus pertama di pengadilan berkaitan dengan sekelompok para pencari suaka asal Sri Lanka, termasuk Tamil, yang berangkat dari selatan India. Mereka dicegat oleh aparat keamanan Australia bulan Juli lalu, dan ditahan di sebuah kapal bea cukai di laut selama satu bulan.

Awalnya penahanan tersebut dirahasiakan. Kasus baru terungkap setelah Australia memeriksa perahu secara terpisah, dan kemudian mengembalikan mereka ke Sri Lanka.

Aktivis hak asasi manusia mengajukan gugatan hukum atas tindakan Australia tersebut. Ini dilakukan untuk mencegah kelompok kedua pencari suaka menghadapi hal yang sama.

Sebelumnya Australia mengembalikan para pencari suaka ke India. Mereka sempat dibawa ke daratan Australia dan kemudian ditransfer ke pusat pemrosesan di Nauru.

Kelompok HAM mengatakan, pencari suaka Tamil bisa menghadapi intimidasi dan kekerasan di Sri Lanka. Meskipun perang saudara telah berakhir lima tahun lalu, namun separatis Tamil masih kerap menghadapi kekerasan dari  mayoritas Sinhala di Sri Lanka.

Kasus kedua yang dihadapi adalah masalah perlindungan permanen, pada 100 anak pencari suaka yang lahir di Australia. Kasus pertama yang diajukan atas nama bayi Rohingya berusia 11 bulan, bernama Ferouz.

Ia lahir di sebuah rumah sakit Brisbane dan telah dikirim ke fasilitas penahanan imigrasi di Darwin sejak lahir. Jika kasus ini berhasil, maka semua bayi yang lahir di Australia akan dapat mengajukan permohonan perlindungan permanen.

Sydney Morning Herald mengutip pengacara dari Maurice Blackburn mengatakan, yakin akan memenangkan kasus. Namun ia mengatakan, perubahan Undang-Undang Migrasi yang diusulkan Menteri Imigrasi Scott Morrison dapat merusak keputusan.

Perubahan UU yang diusulkan, akan membuat anak yang lahir dari orang tua pencari suaka dinyatakan tak sah kedayangan maritimnya. Oleh karena itu, mereka bisa kehilangan hak mereka untuk perlindungan permanen.

Perubahan juga mencakup penawaran visa perlindungan sementara, bagi pencari suaka yang saat ini ditahan di Australia. Sebelumnya hasil dari negosiasi antara Morrison dan pemimpin Partai Persatuan Palmer, Clive Palmer, memutuskan adanya tawaran visa perlindungan sementara bagi pencari suaka.

"Diskusi kami dengan perwakilan dari Partai Palmer menunjukkan mereka tak menyadari implikasi-implikasi dari tindakan itu," kata pengacara Maurice Blackburn, Murray Watt.

Dari 100 bayi ada 31 bayi Rohingya yang dianggap tak memiliki tempat tinggal. Ada juga 16 bayi yang ibunya telah dibawa dari Nauru untuk melahirkan. Di bawah perubahan yang diusulkan, 16 bayi ini akan segera ditransfer kembali ke pusat pemrosesan lepas pantai. Bayi Ferouz adalah salah satu dari 16 bayi yang akan ditransfer.

 

"Menteri memandang perlu untuk mengubah hukum, hanya dua pekan sebelum sidang. Ia sendiri menerima bahwa argumennya lemah," kata Watt.

Morrison selama ini berpendapat, anak-anak yang lahir di Australia harus diperlakukan sebagai pendatang maritim tak sah. Menurutnya, anak-anak tersebut tak memenuhi syarat untuk perlindungan permanen.

"Argumen menteri bahwa anak yang lahir di sebuah rumah sakit di Brisbane, berasal dari laut. itu menentang logika, itu membuat kita yakin akan menang," ujarnya.

Departemen Imigrasi juga akan menghadapi Pengadilan Tinggi pada Selasa (14/10), untuk membela keabsahan keputusan pemerintah Abbott. Pengadilan akan mendengarkan kasus penahanan 157 pencari suaka di laut selama satu bulan.

Pengadilan Tinggi memang tak memiliki kekuasaan untuk memerintahkan para tahanan kembali ke Australia dari Nauru. Tapi mereka dapat memaksa pemerintah untuk membayar kompensasi ke kelompok itu.

Pengadilan Tinggi Australia sebelumnya telah memberikan izin Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mengajukan keberatan terkait kebijakan pemerintah Australia pada para pencari suaka. Komisi Hak Asasi Manusia Australia, juga diberikan izin untuk mengajukan pengajuan tertulis.

Hugh de Kretser dari Pusat Hukum HAM mengatakan, 157 orang termasuk 50 anak-anak akan dikirim kembali ke India. "Kasus ini menyangkut masalah mendasar dari kebebasan, keamanan dan proses hukum," katanya.

Baik UNHCR maupun Komisi HAM Australia menolak tawaran untuk mengajukan keberatan secara lisan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement