REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Pakar serbuk di Australia mengungkapkan, para penderita alergi di Canberra membenci datangnya musim pohon kapuk di musim semi. Padahal pohon itu belum tentu mendatangkan sakit bagi mereka.
Bulu-bulu kapas berjatuhan dari pohon kapuk tiap tahunnya. Di sebagian wilayah Canberra dan di sekitar kampus Australian National University (ANU), bulu-bulu kapas yang jatuh bisa sangat tebal dan terlihat seperti salju.
Namun pakar serbuk sari dari ANU, Simon Haberle, mengatakan, bulu kapas itu bukanlah serbuk musim semi. “Bijinya yang tertiup angin dan anda lihat. Biji itu jatuh dalam bentuk bulu kapas. Kenyataannya, itu bukan serbuk, jadi ini tak berhubungan dengan reaksi alergi,” jelasnya baru-baru ini.
Mereka yang memiliki alergi bisa menderita bersin berkepanjangan, mata yang berair, pilek, gatal pada telinga, dan sakit tenggorokan sebagai akibat dari terekspos substansi yang mengganggu, seperti serbuk sari.
Profesor Simon mengatakan, pohon kapuk disalahkan secara tidak adil sebagai penyebab alergi, yang sebenarnya disebabkan serbuk mikroskopik lainnya. “Sudah ada beberapa penelitian di luar negeri yang menunjukkan bahwa serbuk dari pohon kapuk ini bisa menyebabkan alergi tapi bukan bulu kapasnya, itu benar-benar tak berhubungan dengan iritasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, “Tapi saya pikir masyarakat seringkali mengaitkan ini dengan alergi karena munculnya di musim semi, tapi tanaman lain seperti rumput sebenarnya memproduksi serbuk pada saat seperti ini dan mereka mengalami asma dan juga alergi.”
Biji pohon kapuk biasanya berjatuhan pada pertengahan bulan Oktober. Peribahasa lokal yang populer mengatakan: "Jika anda belum mulai belajar dengan musim pohon kapuk, sudah terlambat."