REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, panglima militer yang menggulingkan Moursi dan kemudian memenangkan pemilu, telah berjanji untuk membasmi para gerilyawan garis keras itu.
Pihak militer mengatakan mereka menewaskan sedikitnya 22 gerilyawan pada Oktober, termasuk seorang komandan Ansar Beit al-Maqdis lokal.
Kelompok itu sendiri telah mengakui penangkapan atau kematian para kadernya, tetapi sejauh ini tentara belum mampu memadamkan gerilyawan meskipun melakukan operasi besar-besaran di mana pemerintah menyebarkan helikopter-helikopter tempur dan tank-tank.
Para gerilyawan terkadang beroperasi secara terbuka di Sinai utara, mendirikan pos-pos pemeriksaan dadakan dan membagi-bagikan selebaran.
Mereka mengatakan menargetkan polisi dan tentara untuk membalas tindakan keras berdarah polisi terhadap kubu Islam setelah penggulingan Moursi, yang menewaskan ratusan orang dalam bentrokan di jalan-jalan dan ribuan dipenjarakan.
Terjepit oleh tindakan keras polisi, para pemrotes pro-Morsi telah tumbuh semakin kecil dan semakin jarang, tetapi tidak berpengaruh bagi kalangan Islam untuk semakin meningkatkan militansi.
Pemerintah telah menyatakan kelompok Ikhwanul Muslimin Moursi sebagai organisasi teroris setelah disalahkan atas serangan yang dilakukan oleh Ansar Beit al-Maqdis.
Kelompok, yang namanya berarti Partisan Yerusalem dalam bahasa Inggris, dibentuk setelah pemberontakan tahun 2011 yang menggulingkan orang kuat veteran Hosni Mubarak dan mengantar periode pelanggaran hukum, khususnya di semenanjung Sinai jarang penduduknya itu.
Mereka awalnya memfokuskan serangan mereka pada tetangga Israel, menembakkan roket-roket dan melakukan dua serangan lintas batas yang menewaskan sejumlah warga sipil dan tentara Israel.
Pemimpin Ansar Beit al-Maqdis ini diyakini seorang Badui dan beberapa anggotanya telah berjuang di Suriah bersama kelompok garis keras sebelum kembali ke Mesir.