REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemimpin Eksekutif Hong Kong Leung Chun-ying mengatakan pemilihan umum yang demokratis akan berakibat pada politik yang didominasi warga miskin.
Dikutip dari SBS, Selasa (21/10), dalam wawancara dengan media asing, dia menegaskan posisinya bahwa pemilihan umum yang bebas tidak mungkin terjadi.
Pernyataan Leung tersebut dipublikasikan hanya beberapa jam sebelum pembicaraan dengan pemimpin demonstrasi dimulai. Leung mengatakan jika kandidat dipilih oleh rakyat, maka sektor terbesar dari masyarakat kemungkinan akan mendominasi proses pemilihan.
"Jika ini semua mengenai angka dan jumlah perwakilan, maka jelas anda akan membawa setengah dari warga Hong Kong yang berpenghasilan kurang dari 1.800 dolar AS perbulan. Lalu, akan berakhir dengan sejenis politik dan kebijakan," ujar Leung kepada New York Times, Wall Street Journal dan Financial Times, Senin (20/10).
Dia memperingatkan bahayanya populisme dan menekankan sistem pemilihan diperlukan untuk melindungi kelompok minoritas. Kritik mengatakan sistem politik saat ini memihak pada kalangan orang kaya.
Hong Kong memiliki kesenjangan si miskin dan si kaya yang tinggi. Sebagian besar warga Hong Kong tidak mampu membeli rumah.
Pada Agustus, Cina menawarkan warga Hong Kong kesempatan untuk memilih pemimpin mereka sendiri pada 2017. Namun, Cina mengatakan hanya dua sampai tiga kandidat dari 1.200 loyalis Cina yang bisa mengajukan diri setelah mendapatkan dukungan dari komite pencalonan.
Para pengunjuk rasa mengutuk hal itu sebagai gaya demokrasi Cina yang palsu. Mereka mengatakan tidak akan meninggalkan jalan-jalan kecuali Cina memungkinkan nominasi terbuka.
Pembicaraan antara perwakilan mahasiswa dan pejabat pemerintah senior menjadi langkah kecil untuk membangun kepercayaan dan kesepakatan melanjutkan dialog. Namun, para pengamat mengatakan tidak mungkin untuk menjembatani jurang antara kedua belah pihak atau mengakhiri demonstrasi.
Leung tidak akan ambil bagian dalam pembicaraan. Sebaliknya, ia akan mengirim lima utusan termasuk pejabat Hong Kong nomor dua Kepala Sekretaris Carrie Lam. Pembicaraan disiarkan secara langsung atas desakan pemimpin mahasiswa untuk membuat publik perdebatan tentang demokrasi.
"Ini merupakan momen bersejarah karena pertama kalinya di Hong Kong sekelompok pengunjuk rasa mampu duduk pada pijakan yang sama dengan pemerintah," ujar anggota Hong Kong Federation of Students Nathan Law.
Layar raksasa akan didirikan di zona protes agar demonstran bisa menonton pembicaraan bersama. Pemerintah membatalkan perundingan yang dijadwalkan awal bulan ini setelah siswa menyerukan agar protes diperluas.
Jalanan Hong Kong dalam kondisi tenang setelah puluhan orang terluka, termasuk 22 polisi dalam bentrokan dua malam di kawasan perbelanjaan Mong Kok. Selain di kawasan tersebut, sekitar 1.000 pengunjuk rasa juga mendirikan tenda di pusat gerakan Pendudukan Central di Hong Kong. Massa mendirikan tenda di jalan tol delapan jalur dekat dengan kantor pemerintahan.
"Sejauh ini kami melihat tidak ada harapan mereka akan mencapai kata sepakat karena kedua pihak memiliki keinginan yang berbeda dalam dialog itu," ujar pengamat politik dari City University of Hong Kong James Sung.
Profesor hukum dari City University of Hong Kong Surya Deva mengatakan kepada AFP kemungkinan situasinya akan memburuk jika pemerintah terus menolak tuntutan pengunjuk rasa. Dia mempertanyakan mengapa warga miskin harus mematuhi dan mempercayai hukum ketika mereka tidak memiliki harapan atas pemberdayaan politik dan ekonomi.
Kepada media asing Leung mengatakan Hong Kong beruntung karena Cina belum merasa perlu untuk mengintervensi ketegangan antara pemerintah dan pengunjuk rasa.
Meningkatnya persaingan dengan warga kaya di Cina daratan dan kemarahan atas hubungan yang nyaman antara pemerintah dan elit keuangan Hong Kong juga telah membuat generasi muda Hong Kong gelisah tentang apa yang menanti mereka di masa dewasa.
Dikutip dari Channel News Asia, hampir 20 persen atau 1,31 juta penduduk Hong Kong hidup di bawah garis kemiskinan pada Sepetember 2013. Puluhan ribu keluarga berpeghasilan rendah dan imigran terpaksa hidup di rumah-rumah kecil karena tidak mampu menyewa rumah.