Sabtu 01 Nov 2014 16:41 WIB

Deklarasi Balfour, Cikal Bakal Terbentuknya Israel di Tanah Palestina

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Julkifli Marbun
Bendera Israel
Foto: aujs.com.au
Bendera Israel

REPUBLIKA.CO.ID, JERUSALEM -- Akar konflik Israel-Palestina berawal pada 1917. Saat itu pemerintah Inggris melalui Deklarasi Balfour meminta Palestina dijadikan sebagai kampung halaman orang Yahudi.

Israel menjajah Yerusalem Timur dan Tepi Barat selama Perang Timur Tengah 1967. Israel kemudian menganeksasi kota suci itu pada 1980.

Israel mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Namun, langkah itu tidak pernah diakui komunitas internasional.

Dilansir dari History, pada 2 November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris saat itu Arthur James Balfour menulis surat yang ditujukan pada warga Yahudi terkemuka di Inggris Baron Lionel Walter Rothschild. Isinya menyatakan pemerintah Inggris mendukung bangsa Yahudi bermukim di Palestina.

Rothschild dianggap oleh sebagian besar kalangan Yahudi sebagai keluarga Yahudi paling berpengaruh dan kaya. Pengaruh mereka di Amerika dianggap penting oleh pemerintah Inggris.

Komunikasi melalui surat tersebut diterima komunitas Yahudi sebagai bentuk dukungan Inggris Raya untuk menjadikan Palestina sebagai kampung halaman mereka. Namun, dari sudut pandang Arab Palestina, daerah yang sama telah dijanjikan kepada mereka karena berpihak kepada sekutu dalam Perang Dunia I dan berjuang melawan Turki yang bersekutu dengan Jerman.

Oleh karena itu, ketika Palestina diserahkan kepada Inggris sebagai bagian dari mandat  Liga Bangsa pada akhir perang, baik orang Yahudi maupun orang Arab yakin mereka telah dikhianati. Kedua bangsa ini percaya mereka telah dijanjikan lahan yang sama.

Setelah 1918, politik di Timur Tengah menjadi jauh lebih rumit karena banyak orang Yahudi dengan berdasarkan pada Deklarasi Balfour beremigrasi ke Palestina. Orang-orang Arab di sana melihat peningkatan jumlah Yahudi yang pindah ke wilayah tersebut sebagai ancaman bagi cara hidup mereka.

Pengakuan publik Inggris dan dukungan terhadap gerakan Zionis muncul dari keprihatinan saat Perang Dunia Pertama. Pada pertengahan 1917, Inggris dan Prancis terperosok dalam kebuntuan dengan Jerman di Front Barat.

Pemerintahan Perdana Menteri David Lloyd George dari Inggris yang terpilih pada 1916 mengambil keputusan mendukung Zionis secara terbuka. Gerakan ini dipimpin oleh ahli kimia Yahudi Rusia yang hidup di Manchester Chaim Weizmann.

Motif dibalik keputusan itu bermacam-macam. Selain dari keyakinan tulus kepada kebenaran penyebab Zionis, pemimpin Inggris berharap deklarasi formal yang mendukung Zionisme akan membantu mendapatkan dukungan Yahudi sebagai sekutu di negara-negara netral, seperti Amerika Serikat dan khususnya Rusia.

Pembentukan negara Zionis di Palestina, di bawah perlindungan Inggris dapat mencapai tujuan itu. Usai Perang Dunia II dan insiden holocaust, dukungan internasional terhadap Zionisme tumbuh. Inilah yang kelak mendasari munculnya negara Israel pada 1948.

Pada 14 Oktober 2014, Majelis Rendah Inggris, dikutip dari BBC, melalui pemungutan suara mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Dalam voting itu diperoleh hasil 274 anggota parlemen mendukung pengakuan negara Palestina sedangkan 12 anggota lainnya menolak pengakuan itu.

Oposisi Inggris dari Partai Buruh Nachman Shai menyebut pengakuan tersebut tamparan yang menyakitkan di wajah.

"Keputusan parlemen Inggris menyusul pengakuan Swedia atas negara Palestina membuktikan dunia mulai mengakui negara Palestina," kata Shai, dilansir dari albawaba.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement