REPUBLIKA.CO.ID, Pasca-Deklarasi Balfour, antara 1919 dan 1923, sekitar 40.000 kaum Yahudi, umumnya dari Eropa Timur, tiba di Palestina. Banyak yang telah terlatih dalam bidang pertanian dalam pergerakan Zionis Eropa dan mendirikan pemukiman Yahudi di awal kedatangan mereka, serta mendirikan pemukiman di tanah yang telah dibeli dengan biaya yang terkumpul dari sumbangan kaum-kaum Yahudi di seluruh dunia.
Pada periode ini, rawa-rawa malaria dikeringkan dan diubah untuk kebutuhan pertanian. Lembaga-lembaga nasional seperti parlemen Yahudi dan Pasukan Pertahanan Sukarela Haganah juga dibentuk dalam periode ini.
Sekitar 1924 hingga 1929, sebanyak 82.000 kaum Yahudi juga tiba di Palestina. Sebagian besar bermigrasi ke Palestina sebagai akibat dari meluasnya keantian masyarakat Polandia dan Hungaria terhadap bangsa Yahudi dan juga sebagai akibat dari penuhnya kuota imigrasi ke Amerika.
Kelompok Yahudi yang berpindah ke Palestina pada periode ini banyak yang merupakan kaum menengah. Kelompok kaum menengah ini kemudian mendirikan berbagai bisnis-bisnis serta industri-industri kecil.
Pada 1929 hingga 1939, diiringi dengan tumbuhnya Nazisme di Jerman, sebanyak 250.000 imigran Yahudi juga berpindah ke Palestina. Banyak di antara imigran tersebut yang berasal dari Jerman dan merupakan orang-orang yang profesional.
Pengungsi-pengungsi yang merupakan arsitek memperkenalkan gaya bangunan modern yang kemudian menjadi ciri khas Tel Aviv yang sebelumnya hanya bukit-bukit pasir. Pengungsi-pengungsi yang merupakan musikus mendirikan Palestine Philharmonic Orchestra. Pada periode ini juga, Pelabuhan Haifa dan kilang minyaknya telah selesai didirikan dan perkembangan industri ini turut merubah perekonomian.
Populasi Yahudi di Palestina terus meningkat, dari yang sebelumnya berjumlah 85.000 di tahun 1919 menjadi 678.000 di tahun 1946. Di periode yang sama, perkembangan Palestina juga menarik perhatian banyak imigran Arab, dan populasi orang-orang Arab di Palestina berlipat ganda dari yang semula 600.000 menjadi 1.269.000.