REPUBLIKA.CO.ID, DONETSK -- Pemberontak di dua wilayah timur Ukraina menggelar pemungutan suara, untuk memilih presiden dan parlemen. Kiev dan Barat menolak mengakui hasil pemilu, mereka mengancam hal ini dapat memperdalam krisis internasional atas konflik di Ukraina Timur.
Aljazirah melaporkan, pemungutan suara dilakukan pada Ahad (2/11) oleh Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Pemilihan kali ini dirancang untuk menyerahkan legitimasi pada rezim militer darurat yang telah mengontrol mereka salama ini.
Kedua wilayah tersebut akan memilih presiden baru dan parlemen. Namun yang masih menjadi pertanyaan, apakah ini berarti mengukuhkan jabatan Alexander Zakharchenko di Donetsk dan Iqor Plotnitsky di Luhansk.
Tak ada pemantau pemilu internasional yang hadir. Tak ada pula aturan jumlah pemilih minimum yang ditetapkan penyelenggara. Ini mencerminkan ketidakpastian atas berapa banyak pemilih yang menggunakan suara mereka.
"Pemilihan ini sangat penting, karena akan memberikan legitimasi pada kekuatan kami dan memberikan lebih banyak jarak dari Kiev," kata Kepala Komisi Pemilihan Republik Rakyat Donetsk, Roman Lyagin.
Rusia menyatakan mereka akan mengakui hasil pemilu. Sementara pihak Ukraina yang marah, menyebut ini pemilu semu di mana teroris dan bandit ingin mengatur wilayah yang diduduki.
Uni Eropa dan NATO juga mengutuk pemungutan suara. Bahkan melihat Rusia mendukung, Barat mengatakan sanksi terhadap ekonomi Rusia tak akan dicabut sampai Kremlin membantu mewujudkan gencatan senjata di Ukraina.
Pemerintah Barat dan PBB mengatakan, pemungutan suara melanggar persyaratan perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani Rusia, Ukraina dan Separatis pada September lalu. Menurut kesepakatan, pemilu lokal harus diselenggarakan di bawah undang-undang Ukraina.
Gedung Putih mengecam pemilihan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi Ukraina. Dalam sebuah pernyataan juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS Bernadette Meehan mengatakan pada Jumat, AS memperingatkan Rusia untuk tak menggunakan hasil pemungutan sebagai dalih membuat pergerakan militer di Ukraina.
Sementara Kementerian Luar Negeri Rusia berdalih, perjanjian Minsk mengatakan pemilihan bisa digelar antara 19 Oktober hingga 3 November. Menurutnya, separatis memiliki kesempatan untuk menggelar pemilu pada 2 November, untuk membawa situasi ke dalam program konstruktif.