REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketiga, WEF mengaitkan kedua hal di atas dengan pengurangan secara drastis atas kerusakan lingkungan. Reformasi energi harus ramah terhadap lingkungan, mencakup alam, manusia lokal, dan kebiasaan setempat.
Penurunan kualitas lingkungan akan berdampak pada ketidakstabilan pasokan dan produksi energi, apalagi di negara-negara yang secara politik dan sosial kurang stabil. Kebijakan energi yang baru ini, menurut WEF, harus mampu mengangkat daya beli masyarakat, menaikkan pendapatan per kapita, dan mengurangi kemiskinan.
Memang, pada satu sisi harga energi menjadi lebih mahal. Namun publik memiliki modal kuat untuk tetap bisa hidup di atas rata-rata. Dalam hal ini, akses publik terhadap pendidikan, kesehatan, dan transportasi harus lebih mudah, mengingat uang negara bisa dialihkan untuk memperbaiki ini semua.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Muslimin Anwar berpendapat reformasi energi memang merupakan salah satu agenda utama Indonesia. Ketahanan energi tidak akan bisa diwujudkan jika karut-marut kebijakan energi seperti sekarang ini tidak dibenahi.
Banyak resep reformasi energi yang telah diajukan para pakar di Indonesia mau pun kajian yang sudah dilakukan lembaga internasional seperti WEF, IMF, dan OPEC.
Prospek ekonomi Indonesia bisa meningkat apabila prakondisi kebijakan untuk mendukung kenaikan produktivitas dan daya saing domestik terpenuhi. "Ini masalah struktur pembiayaan pada APBN kita, misalnya, yang masih memberikan porsi besar terhadap subsidi BBM," kata Muslimin.
Indonesia jelas memerlukan aristektur atau lanskap kebijakan energi yang prorakyat, propertumbuhan, dan prolingkungan. Hal ini, jelas Muslimin, tidak bisa terwujud dengan baik jika beban subsidi BBM masih tinggi, jauh di atas biaya pembangunan, biaya kesehatan, dan dana pendidikan pada APBN.
Seperti kata Ahmadinejad dan mantan bos minyak Saudi, jangan sampai Indonesia terbenam dalam bobroknya tata kelola migas nasional ketika era keemasan minyak akan berakhir.