REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi mengatakan reformasi di Myanmar telah "terhenti" dan memperingatkan terhadap adanya "optimisme berlebih". Menurutnya belum ada perubahan nyata di negaranya.
Berbicara pada konferensi pers di Yangon pada hari Rabu, pemenang Nobel ini mengatakan Myanmar tidak membuat reformasi nyata dalam dua tahun terakhir.
Dia menambahkan bahwa pembicaraan tingkat tinggi pekan lalu dengan politisi senior dan kepala tentara hanya mencapai sedikit kesepakatan.
Dilansir dari BBC News, tidak mengherankan bahwa Aung San Suu Kyi telah menyatakan rasa frustrasinya atas kemajuan perubahan Myanmar. Meskipun keterbukaan telah diterapkan di Myanmar, namun militer masih mendominasi pengambilan keputusan. Baik dalam negosiasi damai dengan kelompok etnis bersenjata atau mengubah konstitusi.
Para petugas berseragam yang ditunjuk oleh militer di parlemen telah menolak untuk mengubah beberapa pasal dalam konstitusi yang memungkinkan Suu Kyi untuk maju menjadi presiden. Mereka memegang seperempat dari semua kursi di kedua kamar Parlemen.
Meskipun telah mundur, Suu Kyi mengatakan dia akan terus mendorong perubahan demokratis melalui politik parlemen. Hal itu disambut oleh pemerintah ketika ia menegaskan sikapnya selama pertemuan dengan tokoh kunci, termasuk Presiden Thein Sein dan pemimpin militer.
Minggu depan Myanmar akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak yang dihadiri oleh beberapa pemimpin dunia. Presiden AS Barack Obama akan berada di daftar teratas tamu, yang paling bergengsi dalam sejarah negara itu.