Jumat 07 Nov 2014 20:23 WIB

Mahkamah Agung Libya Umumkan Pembubaran Parlemen Terpilih

Rep: Gita Amanda/ Red: Julkifli Marbun
Libya
Foto: [ist]
Libya

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI-- Mahkamah Agung Libya mengumumkan pembubaran parlemen terpilih yang selama ini berlindung di kota Tobruk. Keputusan ini membuat parlemen lain berlomba-lomba untuk mendapat legitimasi.

Keputusan MA Libya diumumkan pada Kamis (6/11), atas permintaan anggota parlemen di Tripoli. Mereka mengatakan, pemungutan suara 25 Juni lalu hanya mengarah pada pembentukan pemerintahan Perdana Menteri Abdullah al-Thinni di negara tersebut.

"Mahkamah Agung telah memutuskan untuk menerima banding tentang ilegalitas," ungkap laporan dari kantor berita LANA.

Aljazirah melaporkan, keputusan pengadilan membuat pemerintah al-Thinni menjadi tidak konstitusional. Keputusan tersebut disambut baik pendukung legislatif Tripoli. Mereka berkumpul untuk merayakan keputusan pengadilan.

Sementara PBB mengatakan, akan mempelajari dengan teliti putusan tersebut. PBB juga akan berkonsultasi dengan pemegang keputusan di Libya, seluruh spektrum politik dan mitra internasional.

PBB mengatakan mereka pun akan tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan semua pihak, demi membantu mengatasi krisis politik dan keamanan saat ini.

Keputusan Mahkamah Agung ini kemungkinan akan membawa kekacauan politik lebih jauh di Libya. Tak hanya itu, nasib pemerintahan al-Thinni juga tak menentu ditambah mereka harus berjuang melawan kelompok bersenjata dan memulihkan ketertiban di Libya.

Pemerintahan Al-Thinni terisolasi di kota Tobruk, dan mengkontrol sedikitnya tiga kota utama Libya. Legislatif Tobruk segera mengadakan pertemuan darurat untuk meninjau putusan pengadilan.

"DPR tak akan mengakui putusan yang memutuskan di bawah (ancaman) pistol," kata salah seorang anggota parlemen Issam al-Jehani.

Sementara itu pemberontak bersenjata telah terbagi jadi dua kubu. Satu kubu mendukung pemerintah Tobruk yang dipandang lebih moderat. Kubu lain mendukung pemerintah Tripoli yang dianggap lebih religius konservatif.

Kekerasan baru-baru ini antara kedua pihak telah merenggut ratusan jiwa. Libya telah dicengkram kerusuhan sejak 2011, saat pemberontak menggulingkan penguasa Muammar Gaddafi.

Berbicara pada Aljazirah dari London, seorang ahli Libya Jason Palk mengatakan meski ada kebuntuan politik namun keputusan pengadilan masih memungkinkan adanya negosiasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement