Rabu 12 Nov 2014 08:31 WIB

Buku ini Paparkan Perseteruan Islam-Yahudi

Rep: c78/ Red: Agung Sasongko
Buku Anak-Anak Ibrahim
Foto: Mizan
Buku Anak-Anak Ibrahim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan sensitif Yahudi-Islam telah berlangsung lama, seiring tragedi kemanusiaan yang belum tuntas di tanah Palestina. Ini berdampak pada hubungan kedua komunitas agama.

Di tengah situasi tersebut, dua tokoh agama terkait, yakni Direktur Jamaica Islamic Center, Imam Shamsi Ali dari Agama Islam, bersama Presiden Yayasan Pemahaman Etis  dan Rabi Pembina Sinagoge Hampton New York yakni Rabi Marc Schneier berkolaborasi.

Mereka berdua tak sekadar menjalin persahabatan, tapi juga berkarya, menuangkan gagasan yang jujur dan terbuka soal ajuan penyelesaian konflik di antara agama mereka masing-masing.  Melalui buku "Anak-Anak Ibrahim" yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Noura  Books Mizan, kedua penulis melakukan dialog terbuka mengenai isu yang memisahkan dan menyatukan Muslim-Yahudi.

"Buku ini mengisahkan tentang masing-masing kami, tentang apa yang kami yakini, dan tentang solusi yang ingin kami bawa dari konflik yang hari ini masih terjadi antara  Muslim-Yahudi," kata Imam Shamsi Ali dalam acara bedah buku bertajuk "Mengurai Konflik  Timur Tengah dengan Millah Ibrahim" di Universitas Paramadina, Selasa malam (11/11).

Sementara, Schneier di bagian awal memaparkan kesamaan dan perbedaan cara beribadah antara Muslim dan Yahudi semisal sama melakukan shalat tapi beda jumlah waktunya, atau sama memiliki tanah suci hanya beda tempatnya.

Lantas dalam perjalanannya, ia melihat banyak kesalahpahaman, penyangkalan akan nilai sentral Israel bagi Yudaisme. Sebab Israel bukan urusan politik melainkan urusan teologi.

Begitu pun kota Yerussalem bukan urusan politik tapi urusan teologi. Dari perbincangan yang terbangun, kedua penulis bercerita bahwa mula-mula, mereka berposisi sebagai pelanjut sejarah dari beban dan dosa masa lalu dua agama samawi yang kerap bertikai. Marc memegang teguh keyakinan bahwa Yahudi adalah bangsa terpilih dan setiap Muslim adalah antisemit.

Sementara, Shamsi Ali percaya bahwa setiap Yahudi ingin menghancurkan Islam dan memercayai sepenuhnya doktrin khairu ummah berdasarkan keterangan Alquran. Di dalamnya, ada klaim Muslim merupakan umat terbaik yang dilahirkan

untuk manusia.

Maka, mereka pun dipertemukan, lantas melalui buku, keduanya berani jujur mengupas isu, mengalahkan prasangka, dan secara bersama menyatukan energi melawan ancaman antisemitisme dan islamofobia di dunia. Langkah awalnya dengan membangun dialog yang didasari sikap saling menghormati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement