Rabu 12 Nov 2014 14:29 WIB

Demonstran Hong Kong Berencana Duduki Konsulat Inggris

 Demonstran pro-demokrasi membuat barikade dari blok semen di sebuah terowongan di Jalan Lung Wo, Distrik Admiralty, Hong kong, Rabu (15/10). (AP/Kin Cheung)
Demonstran pro-demokrasi membuat barikade dari blok semen di sebuah terowongan di Jalan Lung Wo, Distrik Admiralty, Hong kong, Rabu (15/10). (AP/Kin Cheung)

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Para demonstran Hong Kong berencana megepung jalanan di sekitar kantor konsulat Inggris sebagai bentuk protes atas kurangnya dukungan London terhadap gerakan pro-demokrasi di kota tersebut.

Di sisi lain, pemerintah kota Hong Kong memerintahkan pengunjuk rasa untuk membubarkan diri setelah melakukan demonstrasi selama enam pekan berturut-turut. Pihak kepolisian setempat telah diperintahkan untuk membongkar barikade dan diperkirakan akan memulai operasi tersebut beberapa hari ke depan.

Namun para mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi lain nampak tidak gentar. Mereka justru menempel poster-poster besar pengumuman rencana pendudukan konsulat Inggris pada 21 November mendatang.

Sejumlah pemimpin demonstrasi mengatakan bahwa mereka ingin menyampaikan protes terhadap Inggris karena tidak menuntut Cina yang dinilai melanggar kesepakatan antara dua negara sebelum penyerahan Hong Kong kepada Beijing oleh London pada 1997.

Kesepakatan tersebut dibentuk untuk melindungi sistem sosial dan cara hidup warga Hong Kong yang berbeda dengan wilayah Cina lain.

"Kami menyesalkan cara pemerintah Inggris membiarkan pelanggaran oleh Cina yang kini mengintervensi sistem politik Hong Kong," kata Anna-Kate Choi, koordinator Occupy British Consulate kepada AFP.

"Inggris seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk memastikan berjalannya implementasi kesepakatan dengan Cina dan bahwa demokrasi serta otonomi di Hong Kong terlindungi," kata Choi.

Dia berharap gerakan pendudukan konsulat Inggris akan diikuti oleh ratusan "bahkan ribuan" orang, dengan siswa sekolah menengah sebagai kekuatan utama.

Konsulat Inggris sampai saat ini menolak berkomentar.

Inggris dan Cina menandatangani Sino-British Joint Declaration pada 1984. Perjanjian tersebut berisi prinsip "satu negara, dua sistem" untuk memastikan bahwa Hong Kong tetap mempertahankan sistem kapitalisme sampai 2047.

Deklarasi bersama itu mengatakan bahwa "sistem sosial dan ekonomi di Hong Kong tidak akan berubah, demikian pula cara hidup warganya."

Akibat perjanjian tersebut, warga Hong Kong menikmati beberapa hak--di antaranya berkumpul dan berpendapat--yang tidak dimiliki oleh Cina daratan.

Menaggapi krisis di Hong Kong, Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan bahwa dia "sangat prihatin" terhadap eskalasi demonstrasi setelah pihak kepolisian menggunakan gas air mata pada akhir September lalu.

Namun para aktivis menilai Inggris terus menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Cina.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement