Jumat 14 Nov 2014 17:17 WIB

Presiden Liberia Cabut Darurat Ebola di Negaranya

Rep: Gita Amanda/ Red: Winda Destiana Putri
Petugas membersihkan pakaian dari ruang isolasi Ebola.
Foto: Reuters
Petugas membersihkan pakaian dari ruang isolasi Ebola.

REPUBLIKA.CO.ID, MONROVIA -- Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf mencabut kebijakan keadaan darurat, yang sebelumnya diberlakukan untuk mengontrol wabah Ebola di negara tersebut.

Namun pencabutan menurutnya, tak berarti menghentikan perang melawan Ebola. Mengingat jumlah korban tewas akibat ebola telah mencapai 5.160 orang. Hampir sebagian besar korban berasal dari Liberia, Guinea dan Sierra Leone.

Dalam pidatonya seperti dilansir BBC News, Jumat (14/10) Presiden Johnson Sirleaf mengatakan jam malam di Liberia akan dikurangi dan pasar mingguan yang biasa digelar masyarakat akan dibuka kembali. Ia menambahkan, pengaktifan kembali sekolah-sekolah di Liberia juga tengah dipersiapkan.

Keadaan darurat diberlakukan pada bulan Agustus, memungkinkan pihak berwenang setempat menekan pergerakan Ebola. Pencabutan darurat datang, setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, ada beberapa bukti tak adanya peningkatan kasus baru di Guinea dan Liberia.

Namun Associated Press melaporkan, ada beberapa titik sumber baru yang muncul di Liberia. Sementara itu, uji klinis untuk menemukan pengobatan efektif untuk Ebola akan dimulai di Afrika Barat bulan depan. Organisasi Dokter Tanpa Batas (MSF) mengatakan, tiga pusat perawatan akan menjadi tuan rumah bagi tiga proyek penelitian terpisah terkait Ebola. Dua di Guinea dan satu lokasi lagi belum dikonfirmasi.

Salah satu percobaan di Conarky, Guinea, akan melibatkan penggunaan darah pasien Ebola yang berhasil sembuh. Darah tersebut akan digunakan untuk mengobati orang sakit.

 

"Ini adalah kemitraan internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang merupakan harapan bagi pasien untuk akhirnya mendapatkan perawatan nyata," ujar juru bicara MSF Dr Annick Antierens.

Sekitar 400 orang akan ambil bagian dalam uji coba dan mereka akan memperluas ke pusat-pusat lain, jika hasil awal telah didapatkan. Hasil diharapkan akan keluar pada Februari 2015.

WHO mengumumkan pada September, perawatan eksperimental dan vaksin untuk Ebola harus cepat dipantau. Dua vaksin eksperimental yang diproduksi oleh GlaxoSmithKline (GLK) dan Badan Kesehatan Masyarakat Kanada, tengah melalui uji keselamatan.

Vaksin GSK sedang diuji di Mali, Inggris, dan Amerika Serikat. Penelitian tentang vaksin Kanada juga berlangsung di AS.

Sementara itu, di Mali yang selama berbulan-bulan terhindar dari krisis ebola awal pekan ini mulai terdeteksi. Seorang perawat dikonfirmasi meninggal akibat Ebola, dan seorang mantan paseinnya yang merupakan tokoh masyarakat juga diduga tewas akibat Ebola.

Kepala misi PBB dalam perang melawan Ebola di Afrika Barat, Anthony Banbury, mengatakan pada Majelis Umum PBB bahwa salah satu orang yang meninggal merupakan pemimpin lokal. Ia sebelumnya telah mengunjungi tiga klinik medis dan kini telah dikuburkan di desanya, hal tersebut dianggap berpotensi menyebar ke lebih banyak orang.

Hingga saat ini belum ada obat yang dapat digunakan secara resmi untuk Ebola. Berbagai percobaan dilakukan untuk menemukan penyembuh wabah yang telah merenggut ribuan jiwa tersebut.

Institut Kesehatan Nasional dan Penelitian Medis Prancis akan melakukan uji coba obat antivirus Favipiravir dari Jepang, di Gueckodou, Guinea. Institut Kesehatan Tropis Antwerp juga akan melakukan pengujian darah dan plasma, untuk terapi penyembuhan di Conarky, Guinea.

Hasil dari beberapa percobaan diharapkan dapat digunakan pada Februari atau Maret mendatang. Pengujian manusia dari beberapa tes keamanan dengan obat-obatan dan vaksin eksperimental untuk Ebola, telah dimulai di beberapa benua.

Kepala misi Ebola PBB Dr David Nabarro mengatakan, situasi menjanjikan berkaitan dengan vaksin anti-Ebola sudah di depan mata. Jika percobaan terbukti berhasil, vaksin bisa tersedia tahun depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement