Jumat 28 Nov 2014 13:50 WIB

Suu Kyi Terus Dorong Amendemen di Myanmar

Rep: C84/ Red: Winda Destiana Putri
Azyumardi Azra concerns over Myanmar pro-democracy leader Aung San Suu Kyi's silence over Rohingya case. (illustration)
Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
Azyumardi Azra concerns over Myanmar pro-democracy leader Aung San Suu Kyi's silence over Rohingya case. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI TAW -- Pemimpin kelompok oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi menyatakan bahwa dirinya bersama para pendukungnya akan terus berjuang dalam amendemen atas pasal-pasal yang menghalanginya untuk maju dalam pemilu Presiden Myanmar tahun depan.

Pasal-pasal dalam konstitusi Myanmar yang berlaku sekarang, melarang Aung San Suu Kyi bertarung dalam pemilu presiden. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa larangan bagi siapapun untuk menjadi presiden jika mereka memiliki pasangan (suami atau istri) atau anak yang merupakan warga negara asing.

Keinginan Aung San Suu Kyi maju menjadi presiden terhalang aturan ini mengingat mendiang suami dan kedua putranya adalah warga negara Inggris.

Partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang mendukung Suu Kyi mengatakan akan ada pembicaraan politik tingkat tinggi dalam beberapa waktu ke depan menyikapi masalah ini.

Pembicaraan tersebut diyakini memiliki tujuan untuk mengamandemen konstitusi yang melarang Suu Kyi mencalonkan diri sebagai presiden.

"Kami mendengar mereka akan bertemu pada Jumat (28/11). Bukan hanya kami, seluruh negeri menyaksikan perkembangan ini dengan penuh perhatian," kata juru bicara NLD, dikutip Channel News Asia, Jumat (28/11).

Dalam pertemuan tersebut dikabarkan akan dihadiri Presiden Myanmar Thein Sein, dua pembicara parlemen, Suu Kyi, komandan militer dan perwakilan dari suku.

Suu Kyi sendiri menyambut baik pembicaraan ini. "Saya tidak punya alasan untuk tidak hadir," ujarnya kepada wartawan usai rapat parlemen.

Namun, Presiden Myanmar Thein Sein tampaknya kurang tertarik dalam pertemuan tersebut. Thein Sein mengatakan bahwa pembicaraan tersebut adalah cara yang baik dalam mencari solusi politik tetapi ia menambahkan tidak akan cukup jika hanya dihadiri oleh enam orang saja.

Thein Sein yang mantan purnawirawan jendral telah menjadi presiden Myanmar sejak 2011 lalu. Sebelumnya, Myanmar berada dibawah kekuasaan militer selama hampir lima puluh tahun, dari 1965 hingga 2010. Thein Sein sendiri belum memutuskan apakah dirinya akan kembali maju sebagai presiden atau tidak tahun depan.

Suu Kyi yang mendekam ditahan selama lebih dari 15 tahun oleh junta militer yang berkuasa telah berhasil mendapatkan sekitar lima juta tandatangan atau sepersepuluh dari jumlah penduduk di Myanmar dalam sebuah petisi untuk mengakhiri hak veto militer dalam amandemen piagam.

Suu Kyi bertekad untuk terus maju dan berjuang mengubah amandemen yang dinilai baik bagi perubahan Myanmar.

"Kita tidak pernah berharap hal ini akan berlangsung mudah tetapi yakin bahwa hal ini mungkin dilakukan. Pertanyaannya adalah kapan? Jika kita bisa mengubah konstitusi ini lebih awal, akan lebih baik bagi negara ini. Kita membutuhkan keberanian dan kemampuan untuk mengubah apa yang dibutuhkan guna kondisi negara yang lebih baik," ujar Suu Kyi dalam wawancara ekslusifnya dengan VOA beberapa waktu lalu.

Perjuangan Suu Kyi mendapat hambatan keras dari pihak militer. Militer Myanmar menyatakan kepada parlemen bahwa mereka menentang keras perubahan konstitusi tersebut. Pernyataan ini muncul setelah Presiden Amerika Serikat (AS) meminta konstitusi tersebut segera diamandemen demi memuluskan langkah Suu Kyi maju dalam pemilu tahun depan.

Sebagaimana diberitakan Reuters, Kolonel Htay Naing pada Senin (24/11) mengatakan akan menjadi hal yang memprihatinkan jika anak-anak Presiden Myanmar adalah warga negara asing di hadapan anggota parlemen. Sementara itu, Jenderal Aung Hlaing mengatakan bahwa pasal-pasal dalam konstitusi tersebut tidak secara khusus ditujukan kepada Suu Kyi, atau kelompok etnis tertentu melainkan seluruh warga negara Myanmar.

"Masalah lain adalah kita harus mempertimbangkan situasi yang ada sejak periode pra-kemerdekaan dan kita punya begitu banyak masalah imigrasi karena kita adalah negara yang memiliki penduduk sangat padat," ujar Jenderal Hlaing.

Disinggung mengenai pertemuan dengan para pemimpin di Myanmar termasuk dengan Suu Kyi, Hlaing menyatakan hal tersebut sukar terwujud mengingat setiap orang memiliki kepentingan masing-masing. Militer Myanmar memegang peran cukup penting mengingat menguasai seperempat kursi parlemen. Berdasar pasal 436, setiap perubahan penting dalam konstitusi membutuhkan suara mayoritas lebih dari 75 persen, sehingga dipastikan suara militer menjadi sangat penting bagi Suu Kyi jika mau maju sebagai presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement